Rabu, 02 Juni 2010

TINDAK KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DALAM KELUARGA

TINDAK KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DALAM KELUARGA

 

Jurnal Hukum Unsrat, Vol. V/No. 2/April-Juni/2000
Journal from SAPTUNSRAT / 2001-08-20 10:07:0
Oleh                : Pangemanan Diana Ribka, SH, M.Hum., Fakultas Hukum - UNSRAT
Dibuat                        : 2000-04-00, dengan file
Keyword        : Perempuan, Kekerasan

Pembinaan hukum nasional masih sangat dipengaruhi oleh prinsip "legalitas" merupakan kenyataan yang menyebabkan banyak masalah-masalah sosial kemasyarakatan tidak terjangkau oleh hukum. Salah satu masalah itu adalah : "Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Keluarga". Yang jika dipandang dari gaya stelsel hukum nasional, hukum suatu bentuk kejahatan (dalam bidang hukum pidana) dan hukum suatu perbuatan melanggar hukum (dalam bidang hukum pidana) dan hukum suatu perbuatan melanggar hukum (dalam bidang hukum perdata) karena tindak kekerasan ini memiliki ciri khas yakni "berbasis jender". Para ahli hukum modern seperti Joanne Nelknap dan Katharina T. Barlett yang tergolong kaum feminis barat, mulai meninggalkan prinsip legalitas dan melakukan pembaharuan hukum dengan pusat penelitian pada "keluwesan" suatu perundang-undangan agar hukum dapat mengikuti dinamika masyarakat. Dinamika gerakan perempuan dalam masyarakat mulai mempertanyakan beberapa jauh hukum dapat mengayomi hak-hak asasi perempuan dan mampukan hukum melindungi kaum perempuan dari perbuatan tidak kekerasan dalam keluarga. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tindak kekerasan dalam perempuan dalam keluarga tidak bisa ditindaki dengan KUHP saja atau Undang-undang Perkawinan saja karena faktor-faktor penyebab terjadinya tindak kekerasan ini memiliki peranan yang kuat baik terhadap pelaku, korban dan penegak hukum mengenai kedudukan perempuan yang masih tersubordinasi dan terdeskriminasi oleh hukum. Upaya penegakan dan penanggulangan kekerasan terhadap perempuan, perlu dilakukan dengan cara mensosialisasikan Deklarasi PBB tentang Penghapusan Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan dan dibantu dengan pendekatan viktimologi dan kriminologi serta pendekatan hukum yang berperspektif perempuan.

 

Deskripsi Alternatif :


Pembinaan hukum nasional masih sangat dipengaruhi oleh prinsip "legalitas" merupakan kenyataan yang menyebabkan banyak masalah-masalah sosial kemasyarakatan tidak terjangkau oleh hukum. Salah satu masalah itu adalah : "Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Keluarga". Yang jika dipandang dari gaya stelsel hukum nasional, hukum suatu bentuk kejahatan (dalam bidang hukum pidana) dan hukum suatu perbuatan melanggar hukum (dalam bidang hukum pidana) dan hukum suatu perbuatan melanggar hukum (dalam bidang hukum perdata) karena tindak kekerasan ini memiliki ciri khas yakni "berbasis jender". Para ahli hukum modern seperti Joanne Nelknap dan Katharina T. Barlett yang tergolong kaum feminis barat, mulai meninggalkan prinsip legalitas dan melakukan pembaharuan hukum dengan pusat penelitian pada "keluwesan" suatu perundang-undangan agar hukum dapat mengikuti dinamika masyarakat. Dinamika gerakan perempuan dalam masyarakat mulai mempertanyakan beberapa jauh hukum dapat mengayomi hak-hak asasi perempuan dan mampukan hukum melindungi kaum perempuan dari perbuatan tidak kekerasan dalam keluarga. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tindak kekerasan dalam perempuan dalam keluarga tidak bisa ditindaki dengan KUHP saja atau Undang-undang Perkawinan saja karena faktor-faktor penyebab terjadinya tindak kekerasan ini memiliki peranan yang kuat baik terhadap pelaku, korban dan penegak hukum mengenai kedudukan perempuan yang masih tersubordinasi dan terdeskriminasi oleh hukum. Upaya penegakan dan penanggulangan kekerasan terhadap perempuan, perlu dilakukan dengan cara mensosialisasikan Deklarasi PBB tentang Penghapusan Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan dan dibantu dengan pendekatan viktimologi dan kriminologi serta pendekatan hukum yang berperspektif perempuan.

Copyrights : Copyright © 2001 by Universitas Sam Ratulangi. Verbatim copying and distribution of this entire article is permitted by author in any medium, provided this notice is preserved.


TEORI MOTIVASI

TEORI MOTIVASI

1. Pengertian Motivasi

Motivasi berasal dari bahasa Latin, yaitu ”movere” yang berarti dorongan atau daya penggerak. Motivasi ini hanya diberikan kepada manusia, khususnya kepada para bawahan atau pengikut.[1] Selain itu motivasi dapat diartikan sebagai keadaan yang memberikan energi, mendorong kegiatan atau moves dan mengarah atau menyalurkan perilaku kearah mencapai kebutuhan yang memberi kepuasan atau mengurangi ketidak seimbangan.[2] Sedangkan dalam istilah lain motivasi juga dapat diartikan sebagai dorongan yang memberikan semangat kerja kepada seseorang (pegawai) untuk berperilaku tertentu dalam usaha mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan.[3] Di lain pihak motivasi juga dapat didefinisikan sebagai kekuatan psikologi yang menentukan arah perilaku seseorang dalam berorganisasi, tingkat usaha dan tingkat seseorang dalam menghadapi hambatan.[4]

Sehingga pada intinya setiap pekerjaan yang dilakukan oleh seseorang/ kelompok pastilah memerlukan yang namanya motivasi yang kuat agar bersedia melaksanakan pekerjaan secara bersemangat, bergairah dan berdedikasi dalam mencapai produktifitas kerja yang tinggi. Sebab sesuai dengan Sabda Nabi Muhammad SAW yang artinya :“Kerjakanlah urusan duniamu seakan-akan Engkau akan hidup selama-lamanya. Dan laksanakan amalan akhiratmu seakan-akan Engkau akan mati esok hari”. (HR. Ibnu Asakir).[5]

Maka bila kita mengacu dari hadits diatas sudah jelas bahwa faktor motivasi sangat diperlukan sekali dalam hal ini. Dan kenyataan menunjukkan pula bahwa kegiatan yang didorong oleh sesuatu yang tidak disukai berupa kegiatan yang terpaksa dilakukan, cenderung berlangsung tidak efektif dan efisien. Hasibuan juga menyatakan bahwa motif seringkali diartikan dengan istilah dorongan. Dorongan atau tenaga tersebut merupakan gerak jiwa dan jasmani untuk berbuat. Sehingga motif tersebut merupakan suatu driving force yang menggerakkan manusia untuk bertingkah laku, dan berbuat dengan tujuan tertentu.[6] Beberapa ciri motif individu diantaranya adalah: majemuk, berubah-ubah, berbeda-beda bagi individu, dan motif yang tidak disadari oleh individu. Dan untuk melengkapi kajian ini akan diuraikan beberapa teori pendukung yang terkait dengan motivasi.

2. Teori Motivasi

a. Teori Kebutuhan dari Abraham H. Maslow

Teori ini dikembangkan oleh A.H. Maslow tahun 1943. Tenaga kerja atau karyawan yang bekerja dalam suatu institusi adalah individu-individu yang diharapkan berperan serta dalam mensukseskan tujuan institusi. Mereka semua adalah manusia yang mempunyai tujuan tertentu untuk memuaskan kebutuhannya. Sementara itu kebutuhan manusia ini sangat banyak sekali ragamnya, dan masing-masing tenaga kerja mempunyai kebutuhan yang berbeda dan berubah dari waktu ke waktu selama masa hidupnya.

Di sini yang mendasari teory Maslow adalah sebagai berikut: a). manusia adalah makhluk sosial yang berkeinginan, selalu menginginkan lebih banyak, keinginan ini terus-menerus dan baru akan berhenti jika akhir hayatnya tiba. b). Suatu kebutuhan yang telah dipuaskan tidak menjadi alat motivasi bagi pelakunya, hanya kebutuhan yang belum terpenuhi yang menjadi alat motivasi. c). Kebutuhan manusia itu bertingkat-tingkat (hierarchy) yaitu sebagai berikut:

§ Kebutuhan fisiologis/ fisik (Physiological Needs)

§ Kebutuhan keamanan dan keselamatan (Safety and Security Needs)

§ Kebutuhan rasa memiliki/ sosial (Affiliation or Acceptance Needs)

§ Kebutuhan akan prestise/ penghargaan diri (Esteem or Status needs)

§ Kebutuhan akan aktualisasi diri (Self Actualization Needs) [7]

1. Kebutuhan fisiologis/ fisik (Physiological Needs) yaitu kebutuhan untuk mempertahankan hidup, dan kebutuhan ini adalah kebutuhan manusia yang paling dasar yang muncul paling dulu sebelum kebutuhan-kebutuhan yang lain. Kebutuhan pokok tersebut di antaranya yaitu: sandang, pangan dan papan. Bagi karyawan/ pegawai kebutuhan tersebut biasanya diterima dalam bentuk gaji atau upah, tunjangan atau juga honorarium. Dalam usahanya untuk mencapai atau mendapatkan kebutuhan pokok tersebut karyawan juga didorong adanya hak seorang karyawan yang harus dipenuhi, yaitu dengan adanya pemberian gaji yang harus diberikan pada waktunya. Sebagaimana yang pernah dijelaskan dalam hadits Nabi SAW yang artinya :

“Ibnu Umar RA. Menceritakan, bahwa Rasululloh SAW. bersabda: ”Bayarlah upah/ gaji sebelum keringatnya kering” (HR. Ibnu Majah).

Dengan demikian pada umumnya aktivitas seseorang pada level ini apabila kebutuhan pokok belum terpenuhi dan kiranya kebutuhan lain kurang memotivasinya.

2. Kebutuhan keamanan dan keselamatan (Safety and Security Needs) adalah kebutuhan akan keamanan dari ancaman, yaitu merasa aman dari ancaman kecelakaan dan keselamatan dalam melakukan pekerjaan. Kebutuhan ini mengarah pada dua bentuk yaitu: a). Kebutuhan akan keamanan dan keselamatan jiwa ditempat pekerjaan pada saat mengerjakan pekerjaan di waktu-waktu kerja. b). Kebutuhan akan keamanan harta ditempat pekerjaan pada waktu jam-jam kerja.

3. Kebutuhan rasa memiliki/ sosial (Affiliation or Acceptance Needs), pada dasarnya manusia selalu ingin selalu hidup berkelompok dan tidak seorang pun manusia ingin hidup menyendiri di tempat yang terpencil. Karena manusia adalah makhluk sosial, yang sudah barang tentu ia menginginkan kebutuhan-kebutuhan sosial yang terdiri dari empat kelompok yaitu:

a. Kebutuhan akan perasaan diterima oleh orang lain dilingkungan atau oleh kelompok tempat manusia itu berada (sence of belonging).

b. Kebutuhan akan perasaan dihormati, karena setiap manusia merasa dirinya penting (sence of importance)

c. Kebutuhan akan pencapaian prestasi atau perasaan maju dan tidak gagal. Karena pada dasarnya setiap orang senang akan kemajuan dan tidak seorang pun yang menyenangi kegagalan. Kemajuan atau prestasi di segala bidang merupakan keinginan dan kebutuhan yang menjadi idaman setiap orang (sence of achievement).

d. Kebutuhan akan perasaan ikut serta (sence of participation).

4. Kebutuhan akan prestise/ penghargaan diri (Esteem or Status needs) hal ini berhubungan dengan status. Semakin tinggi kedudukan seseorang dalam masyarakat atau posisi seseorang dalam suatu perusahaan maka semakin tinggi pula status prestisenya. Prestise dan status dimanifestasikan dalam banyak hal yang digunakan dalam simbol status, misalnya: kamar kerja sendiri lengkap dengan perabot ruang kerja, kursi berlengan, meja besar, memakai dasi untuk membedakan seorang pimpinan dengan anak buahnya, kendaraan/ mobil dinas dan lain sebagainya.

5. Kebutuhan akan aktualisasi diri (Self Actualization Needs) kebutuhan akan aktualisasi diri dengan menggunakan kecakapan, kemampuan keterampilan, dan potensi optimal untuk mencapai prestasi kerja yang sangat memuaskan atau luar biasa yang sulit dicapai oleh orang lain.

Tingkatan kebutuhan manusia tersebut diatas sekaligus sebagai motivator manusia dalam meningkatkan produktivitasnya.

b. Teori ERG Alderfer

Teori ini dikemukakan oleh Clayton Alderfer seorang ahli dari Yale University. Teori ini merupakan penyempurnaan dari teori kebutuhan yang dikemukakan oleh A.H. Maslow. ERG Theory ini oleh para ahli dianggap lebih mendekati keadaan sebenarnya berdasarkan fakta-fakta empiris. C. Alderfer dalam Hasibuan, mengemukakan bahwa ada tiga kelompok kebutuhan yang utama, yaitu:

1. Kebutuhan akan keberadaan (Existence Needs)

2. Kebutuhan akan afiliasi (Relatedness Needs)

3. Kebutuhan akan kemajuan (Growth Needs) [8]

- Existence Needs, berhubungan dengan kebutuhan dasar termasuk di dalamnya pshsiological needs dan safety needs dari A.H. Maslow.

- Relatedness needs, menekankan akan pentingnya hubungan antar individu (interpersonal relationships) dan bermasyarakat (social relationship)

- Growth needs, adalah keinginan intrinsik dalam diri seseorang untuk maju atau meningkatkan kemampuan pribadinya.

c. Teori Motivasi David Mc. Clelland

Nama lengkap dari tokoh ini adalah David C. Mc Clelland yang mengemukakan bahwa hakekatnya manusia mempunyai kemampuan untuk berprestasi di atas kemampuan yang lain. Ada tiga jenis kebutuhan yang dapat memberikan dorongan, yaitu: Kebutuhan akan prestasi (Need for Achievement), Kebutuhan akan afiliasi (Need for Affilicatin) dan Kebutuhan akan kekusaan (Need for Power).[9]

Pertama, Kebutuhan akan prestasi (Need for Achievement), merupakan daya penggerak yang memotivasi semangat kerja seseorang. Karena itu Need for Achievement ini akan mendorong seseorang untuk mengembangkan kreatifitas dan mengarahkan semua kemampuan serta energi yang dimilikinya demi mencapai prestasi kerja yang optimal. Karyawan akan antusias untuk berprestasi tinggi, asalkan kesempatan akan hal itu diberikan. Seseorang akan menyadari bahwa hanya dengan mencapai prestasi kerja yang tinggi akan dapat memperoleh pendapatan yang besar. Dengan pendapatan yang besar akhirnya ia akan dapat memiliki serta memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.

Kedua, kebutuhan akan afiliasi (Need for Affilicatin) ini menjadi daya pengerak yang akan memotivasi semangat bekerja seseorang. Karena Need for Affilicatin ini yang merangsang gairah kerja seorang karyawan, sebab setiap orang menginginkan: a). Kebutuhan akan perasaan diterima oleh orang lain di lingkungan ia hidup dan bekerja (Sense of Belonging). b). Kebutuhan akan perasaan dihormati, karena setiap manusia merasa dirinya penting (Sense of Importance) c). Kebutuhan akan perasaan maju dan tidak gagal (Sense of Achievement) d). Kebutuhan akan perasaan ikut serta (Sense of participation). Jadi seseorang karena kebutuhan afiliasi ini akan memotivasi dan mengembangkan dirinya serta memanfaatkan semua energinya untuk menyelesaikan tugas-tugasnya.

Ketiga, Kebutuhan akan kekuasaan (Need for Power), kebutuhan ini merupakan daya penggerak yang memotivasi semangat kerja seorang karyawan. Karena itu Need for Power ini yang merangsang dan memotivasi gairah kerja seseorang serta mengerahkan semua kemampuan demi mencapai kekuasaan atau kedudukan yang terbaik dalam organisasi. Ego manusia yang ingin lebih berkuasa dari manusia lainya sehingga menimbulkan persaingan. Persaingan ini oleh pimpinan ditumbuhkan secara sehat dalam memotivasi bawahannya, supaya mereka termotivasi untuk bekerja dengan sehat.

d. Teori Motivator-Higinis Herzberg

Teori ini diperkenalkan oleh Frederic Herzberg. Dengan mengambil pendekatan yang berbeda dari Maslow dan Alderfer, Frederic Herzberg memusatkan dua faktor: 1) pendapatan yang dapat mengarahkan kepada tingkat motivasi dan kepuasan kerja yang tinggi dan 2) pendapatan yang dapat mencegah orang menjadi tidak terpenuhi.[10] Menurut teori motivator-higinis Herzberg, orang memiliki dua susunan kebutuhan, yaitu: kebutuhan motivator dan kebutuhan higinis. Kebutuhan motivator terkait dengan sifat kerja itu sendiri dan seberapa menantangnya pekerjaan itu. Pendapatan seperti pekerjaan yang menarik, kewenangan, tanggungjawab, dan perasaan berprestasi serta pencapaian membantu untuk memenuhi kebutuhan motivator. Agar dapat memeliki tenaga kerja yang sangat termotivasi dan terpenuhi, Herzberg menyarankan, para pimpinan harus mengambil langkah-langkah untuk meyakinkan bahan kebutuhan motivator pegawai terpenuhi.

Kebutuhan higinis terkait dengan konteks fisik dan psikologis dimana pekerjaan itu dilaksanakan. Kebutuhan higinis terpenuhi dengan pendapatan seperti kondisi kerja yang menyenangkan dan nyaman, upah, keamanan kerja, hubungan yang baik dengan rekan sekerja, dan pengawas yang efektif. Menurut Herzberg, jika kebutuhan higinis tidak terpenuhi, para pekerja tidak puas, dan jika kebutuhan higinis terpenuhi, para pekerja tidak kecewa. Akan tetapi, pemenuhan kebutuhan higinis tidak menghasilkan motivasi yang tinggi atau bahkan tingkat kepuasan kerja yang tinggi. Agar motivasi dan kepuasan kerja menjadi tinggi, maka kebutuhan motivator harus terpenuhi.

e. Teori Pengharapan

Teori pengaharapan adalah teori motivasi yang dirumuskan oleh Victor H. Vroom di tahun 60-an, yang berasumsi bahwa tingkat usaha yang tinggi mengarah pada performa tinggi dan performa tinggi mengarah pada pencapaian hasil yang diinginkan. Teori pengharapan adalah salah satu teori tentang motivasi kerja yang paling populer karena memusatkan perhatian pada ketiga bagian persamaan motivasi: input, performa dan pendapatan. Teori pengharapan mengidentifikasikan tiga faktor utama yang menentukan motivasi seseorang yaitu: pengharapan, perantara dan valensi. [11]

- Pengharapan

Pengharapan adalah persepsi seseorang tentang tingkat dimana usaha (input) menghasilkan tingkat performa tertentu. Tingkat pengharapan seseorang menentukan apakah dia mempercayai bahwa tingkat usaha yang tinggi menghasilkan performa yang tinggi pula. Orang termotivasi untuk mengedepankan banyak usaha dalam pekerjaan mereka hanya jika mereka berpikiran bahwa usaha mereka akan memberikan performa yang tinggi, yaitu jika mereka memiliki pengharapan yang tinggi. Atau dengan kata lain, agar motivasi seseorang dapat menjadi tinggi, maka pengharapan harus tinggi.

- Perantara

Perantara adalah persepsi seseorang tentang tingkat dimana performa di tingkat tertentu menghasilkan pencapaian pendapatan. Berdasarkan teori pengharapan, pegawai termotivasi untuk melaksanakan pada tingkat yang tinggi hanya jika mereka berpikiran bahwa performa tinggi akan mengarah pada pendapatan seperti upah, keamanan kerja, penetapan pekerjaan yang menarik, bonus atau perasaan berprestasi. Dengan kata lain, perantara harus tinggi agar motivsi menjadi tinggi, orang harus melaksanakanya karena performa tingginya mereka akan menerima pendapatan.

- Valensi

Meskipun semua anggota sebuah instansi harus memiliki pengharapan dan perantara yang tinggi, teori pengharapan mengakui bahwa orang berbeda dalam preferensi mereka terhadap pendapatan. Bagi banyak orang, upah adalah pendapatan paling penting dalam bekerja, namun bagi sebagian yang lain, perasaan berprestasi atau menikmati pekerjaan seseorang lebih penting dari upah. Istilah Valensi merujuk pada seberapa diinginkannya masing-masing pendapatan yang tersedia dari sebuah pekerjaan untuk orang lain. Agar dapat memotivasi anggota, pimpinan perlu menentukan pendapatan mana yang memiliki valensi tinggi bagi mereka.

3. Jenis-jenis Motivasi

Pada dasarnya motivasi yang diberikan bisa dibagi dua yaitu motivasi positif dan motivasi negatif.[12] Motivasi positif adalah proses untuk mencoba mempengaruhi orang lain agar menjalankan sesuatu yang kita inginkan dengan cara memberikan kemungkinan untuk mendapat ”hadiah”. Sementara motivasi negatif adalah proses untuk mempengaruhi seseorang agar mau melakukan sesuatu yang kita inginkan, tetapi teknik dasar yang digunakan adalah lewat kekuatan ketakutan.

Pada umumnya seorang pemimpin haruslah menggunakan kedua motivasi tersebut, dengan alasan bahwa, pada jenis yang pertama, seorang pemimpin memberikan kemungkinan untuk mendapat hadiah, mungkin berwujud tambahan uang, tambahan penghargaan dan lain sebagainya. Pada jenis kedua, apabila seorang karyawan atau bawahan tidak melakukan sesuatu yang diiginkan oleh seorang pimpinan, maka pemimpin akan memberitahukan bahwa karyawan tersebut akan kehilangan sesuatu, bisa kehilangan pengakuan, uang atau bahkan mungkin jabatan.

4. Tujuan Motivasi

Tujuan motivasi adalah untuk membuat semua orang bawahan atau pegawai benar-benar mau atau ingin bekerja keras untuk mencapai dan menyelesaikan segala apa yang menjadi kehendak dan rancangan organisasi.[13]

Dengan demikian motivasi kerja sangatlah penting bagi manusia terutama karyawan, manajer atau pemimpin karena motivasi yang tinggi akan dapat menunjang pekerjaan yang ditugaskan sehingga dilakukan dengan penuh bersemangat dan bergairah yang nantinya akan dicapai hasil yang optimal (prestasi tinggi) yang tentunya akan mendukung tercapainya tujuan yang diiginkan dengan efisien dan efektif.

Akan tetapi pada prinsipnya tujuan daripada setiap manusia berbeda, karena manusia mempunyai kebutuhan yang berbeda-beda pula dan pada saat-saat tertentu menuntut suatu kepuasan. Dimana hal-hal yang dapat memberikan kepuasan pada suatu kebutuhan adalah menjadi tujuan dari kebutuhan tersebut. Dan prinsip umum yang berlaku bagi kebutuhan manusia adalah setelah kebutuhan satu terpenuhi atau terpuaskan, maka setelah beberapa waktu kemudian akan muncul kembali dan menuntut kepuasan yang lain lagi, begitu seterusnya.


[1] Hasibuan, SP, Malayu, Manajemen Dasar, Pengertian, dan Masalah, Bumi Aksara, Jakarta, 2001, hlm. 216.

[2] Siswanto, Bedjo, Manajemen Tenaga Kerja, Sinar Baru, Bandung, 1989, cet ke-2, hlm. 243.

[3] Wursanto, I.G, Manajemen Kepegawaian, Kanisius, Yogyakarta, 2003, hlm. 132.

[4] Bukhori, Muhammad, dkk, Azaz-azaz Manajemen, Aditya Media, Yogyakarta, 2005, hlm. 199.

[5] Al-Albani, Muhammad Nashiruddin, Silsilah Hadits Dha’if dan Maudhu’, Gema Insani Press, Jakarta, 1995, hlm. 40.

[6] Hasibuan, SP, Malayu, Ibid, hlm. 218.

[7] Robbins, Stephen, Prinsip-prinsip Perilaku Organisasi, Penerbit Erlangga, Jakarta, 2002, hlm. 56

[8] Hasibuan, SP, Malayu, Op.Cit, hlm. 232

[9] Hasibuan, SP, Malayu, Op.Cit, hlm. 231.

[10] Bukhori, Muhammad, dkk, Op. cit, hlm. 211.

[11] Bukhori, Muhammad, dkk, Op. cit, hlm. 203.

[12] Heidjrachman, Husnan, Suad, Manajemen Personalia, BPFE UGM, Yogyakarta, 2002, hlm. 204

[13] Atmosudirdjo, Administrasi dan Manajemen Umum, Ghalia Indonesia, 1982, hlm. 219.

& Komentar

abie berkata,

Agustus 21, 2008 pada 12:38 am

trus caranya menambah motivasi gimana???

semangadh naek turun ne.. :(

sjahrir berkata,

September 14, 2008 pada 9:04 pm

seorang teman sanggup push-up 80 kali, mengaku pada saya dengan yakinnya. Maka saya menyahuti tak percaya padanya. Mulailah ia push-up.
Pada hitungan ke 15, saya menyatakan baru 14. Ia sakit hati nampaknya… .
Tahukah anda ? Ia hanya mampu push-up hingga 40 kali. Nah… itukah motivasi negatif ??
Heheheee
Bagaimana jika yang diberikan pujian ??

 

Teori-Teori Motivasi

Teori-Teori Motivasi

Tanggal: 04 Oktober 2008

oleh : Akhmad Sudrajat, M.Pd.
Motivasi dapat diartikan sebagai kekuatan (energi) seseorang yang dapat menimbulkan tingkat persistensi dan entusiasmenya dalam melaksanakan suatu kegiatan, baik yang bersumber dari dalam diri individu itu sendiri (motivasi intrinsik) maupun dari luar individu (motivasi ekstrinsik).
Seberapa kuat motivasi yang dimiliki individu akan banyak menentukan terhadap kualitas perilaku yang ditampilkannya, baik dalam konteks belajar, bekerja maupun dalam kehidupan lainnya.. Kajian tentang motivasi telah sejak lama memiliki daya tarik tersendiri bagi kalangan pendidik, manajer, dan peneliti, terutama dikaitkan dengan kepentingan upaya pencapaian kinerja (prestasi) seseorang.
Dalam konteks studi psikologi, Abin Syamsuddin Makmun (2003) mengemukakan bahwa untuk memahami motivasi individu dapat dilihat dari beberapa indikator, diantaranya: (1) durasi kegiatan; (2) frekuensi kegiatan; (3) persistensi pada kegiatan; (4) ketabahan, keuletan dan kemampuan dalam mengahadapi rintangan dan kesulitan; (5) devosi dan pengorbanan untuk mencapai tujuan; (6) tingkat aspirasi yang hendak dicapai dengan kegiatan yang dilakukan; (7) tingkat kualifikasi prestasi atau produk (out put) yang dicapai dari kegiatan yang dilakukan; (8) arah sikap terhadap sasaran kegiatan.
Untuk memahami tentang motivasi, kita akan bertemu dengan beberapa teori tentang motivasi, antara lain : (1) teori Abraham H. Maslow (Teori Kebutuhan); (2) Teori McClelland (Teori Kebutuhan Berprestasi); (3) teori Clyton Alderfer (Teori ERG); (4) teori Herzberg (Teori Dua Faktor); (5) teori Keadilan; (6) Teori penetapan tujuan; (7) Teori Victor H. Vroom (teori Harapan); (8) teori Penguatan dan Modifikasi Perilaku; dan (9) teori Kaitan Imbalan dengan Prestasi. (disarikan dari berbagai sumber : Winardi, 2001:69-93; Sondang P. Siagian, 286-294; Indriyo Gitosudarmo dan Agus Mulyono,183-190, Fred Luthan,140-167)1. Teori Abraham H. Maslow (Teori Kebutuhan)
Teori motivasi yang dikembangkan oleh Abraham H. Maslow pada intinya berkisar pada pendapat bahwa manusia mempunyai lima tingkat atau hierarki kebutuhan, yaitu : (1) kebutuhan fisiologikal (physiological needs), seperti : rasa lapar, haus, istirahat dan sex; (2) kebutuhan rasa aman (safety needs), tidak dalam arti fisik semata, akan tetapi juga mental, psikologikal dan intelektual; (3) kebutuhan akan kasih sayang (love needs); (4) kebutuhan akan harga diri (esteem needs), yang pada umumnya tercermin dalam berbagai simbol-simbol status; dan (5) aktualisasi diri (self actualization), dalam arti tersedianya kesempatan bagi seseorang untuk mengembangkan potensi yang terdapat dalam dirinya sehingga berubah menjadi kemampuan nyata.
Kebutuhan-kebutuhan yang disebut pertama (fisiologis) dan kedua (keamanan) kadang-kadang diklasifikasikan dengan cara lain, misalnya dengan menggolongkannya sebagai kebutuhan primer, sedangkan yang lainnya dikenal pula dengan klasifikasi kebutuhan sekunder. Terlepas dari cara membuat klasifikasi kebutuhan manusia itu, yang jelas adalah bahwa sifat, jenis dan intensitas kebutuhan manusia berbeda satu orang dengan yang lainnya karena manusia merupakan individu yang unik. Juga jelas bahwa kebutuhan manusia itu tidak hanya bersifat materi, akan tetapi bersifat pskologikal, mental, intelektual dan bahkan juga spiritual.
Menarik pula untuk dicatat bahwa dengan makin banyaknya organisasi yang tumbuh dan berkembang di masyarakat dan makin mendalamnya pemahaman tentang unsur manusia dalam kehidupan organisasional, teori “klasik” Maslow semakin dipergunakan, bahkan dikatakan mengalami “koreksi”. Penyempurnaan atau “koreksi” tersebut terutama diarahkan pada konsep “hierarki kebutuhan “ yang dikemukakan oleh Maslow. Istilah “hierarki” dapat diartikan sebagai tingkatan. Atau secara analogi berarti anak tangga. Logikanya ialah bahwa menaiki suatu tangga berarti dimulai dengan anak tangga yang pertama, kedua, ketiga dan seterusnya. Jika konsep tersebut diaplikasikan pada pemuasan kebutuhan manusia, berarti seseorang tidak akan berusaha memuaskan kebutuhan tingkat kedua,- dalam hal ini keamanan- sebelum kebutuhan tingkat pertama yaitu sandang, pangan, dan papan terpenuhi; yang ketiga tidak akan diusahakan pemuasan sebelum seseorang merasa aman, demikian pula seterusnya.
Berangkat dari kenyataan bahwa pemahaman tentang berbagai kebutuhan manusia makin mendalam penyempurnaan dan “koreksi” dirasakan bukan hanya tepat, akan tetapi juga memang diperlukan karena pengalaman menunjukkan bahwa usaha pemuasan berbagai kebutuhan manusia berlangsung secara simultan. Artinya, sambil memuaskan kebutuhan fisik, seseorang pada waktu yang bersamaan ingin menikmati rasa aman, merasa dihargai, memerlukan teman serta ingin berkembang.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa lebih tepat apabila berbagai kebutuhan manusia digolongkan sebagai rangkaian dan bukan sebagai hierarki. Dalam hubungan ini, perlu ditekankan bahwa :
a. Kebutuhan yang satu saat sudah terpenuhi sangat mungkin akan timbul lagi di waktu yang akan datang;
b. Pemuasaan berbagai kebutuhan tertentu, terutama kebutuhan fisik, bisa bergeser dari pendekatan kuantitatif menjadi pendekatan kualitatif dalam pemuasannya.
c. Berbagai kebutuhan tersebut tidak akan mencapai “titik jenuh” dalam arti tibanya suatu kondisi dalam mana seseorang tidak lagi dapat berbuat sesuatu dalam pemenuhan kebutuhan itu.
Kendati pemikiran Maslow tentang teori kebutuhan ini tampak lebih bersifat teoritis, namun telah memberikan fundasi dan mengilhami bagi pengembangan teori-teori motivasi yang berorientasi pada kebutuhan berikutnya yang lebih bersifat aplikatif..2. Teori McClelland (Teori Kebutuhan Berprestasi)
Dari McClelland dikenal tentang teori kebutuhan untuk mencapai prestasi atau Need for Acievement (N.Ach) yang menyatakan bahwa motivasi berbeda-beda, sesuai dengan kekuatan kebutuhan seseorang akan prestasi. Murray sebagaimana dikutip oleh Winardi merumuskan kebutuhan akan prestasi tersebut sebagai keinginan :“ Melaksanakan sesuatu tugas atau pekerjaan yang sulit. Menguasai, memanipulasi, atau mengorganisasi obyek-obyek fisik, manusia, atau ide-ide melaksanakan hal-hal tersebut secepat mungkin dan seindependen mungkin, sesuai kondisi yang berlaku. Mengatasi kendala-kendala, mencapai standar tinggi. Mencapai performa puncak untuk diri sendiri. Mampu menang dalam persaingan dengan pihak lain. Meningkatkan kemampuan diri melalui penerapan bakat secara berhasil.”
Menurut McClelland karakteristik orang yang berprestasi tinggi (high achievers) memiliki tiga ciri umum yaitu : (1) sebuah preferensi untuk mengerjakan tugas-tugas dengan derajat kesulitan moderat; (2) menyukai situasi-situasi di mana kinerja mereka timbul karena upaya-upaya mereka sendiri, dan bukan karena faktor-faktor lain, seperti kemujuran misalnya; dan (3) menginginkan umpan balik tentang keberhasilan dan kegagalan mereka, dibandingkan dengan mereka yang berprestasi rendah.
3. Teori Clyton Alderfer (Teori “ERG)
Teori Alderfer dikenal dengan akronim “ERG” . Akronim “ERG” dalam teori Alderfer merupakan huruf-huruf pertama dari tiga istilah yaitu : E = Existence (kebutuhan akan eksistensi), R = Relatedness (kebutuhanuntuk berhubungan dengan pihak lain, dan G = Growth (kebutuhan akan pertumbuhan)
Jika makna tiga istilah tersebut didalami akan tampak dua hal penting. Pertama, secara konseptual terdapat persamaan antara teori atau model yang dikembangkan oleh Maslow dan Alderfer. Karena “Existence” dapat dikatakan identik dengan hierarki pertama dan kedua dalam teori Maslow; “ Relatedness” senada dengan hierarki kebutuhan ketiga dan keempat menurut konsep Maslow dan “Growth” mengandung makna sama dengan “self actualization” menurut Maslow. Kedua, teori Alderfer menekankan bahwa berbagai jenis kebutuhan manusia itu diusahakan pemuasannya secara serentak. Apabila teori Alderfer disimak lebih lanjut akan tampak bahwa :
a. Makin tidak terpenuhinya suatu kebutuhan tertentu, makin besar pula keinginan untuk memuaskannya;
b. Kuatnya keinginan memuaskan kebutuhan yang “lebih tinggi” semakin besar apabila kebutuhan yang lebih rendah telah dipuaskan;
c. Sebaliknya, semakin sulit memuaskan kebutuhan yang tingkatnya lebih tinggi, semakin besar keinginan untuk memuasakan kebutuhan yang lebih mendasar.
Tampaknya pandangan ini didasarkan kepada sifat pragmatisme oleh manusia. Artinya, karena menyadari keterbatasannya, seseorang dapat menyesuaikan diri pada kondisi obyektif yang dihadapinya dengan antara lain memusatkan perhatiannya kepada hal-hal yang mungkin dicapainya.
4. Teori Herzberg (Teori Dua Faktor)
Ilmuwan ketiga yang diakui telah memberikan kontribusi penting dalam pemahaman motivasi Herzberg. Teori yang dikembangkannya dikenal dengan “ Model Dua Faktor” dari motivasi, yaitu faktor motivasional dan faktor hygiene atau “pemeliharaan”.
Menurut teori ini yang dimaksud faktor motivasional adalah hal-hal yang mendorong berprestasi yang sifatnya intrinsik, yang berarti bersumber dalam diri seseorang, sedangkan yang dimaksud dengan faktor hygiene atau pemeliharaan adalah faktor-faktor yang sifatnya ekstrinsik yang berarti bersumber dari luar diri yang turut menentukan perilaku seseorang dalam kehidupan seseorang.
Menurut Herzberg, yang tergolong sebagai faktor motivasional antara lain ialah pekerjaan seseorang, keberhasilan yang diraih, kesempatan bertumbuh, kemajuan dalam karier dan pengakuan orang lain. Sedangkan faktor-faktor hygiene atau pemeliharaan mencakup antara lain status seseorang dalam organisasi, hubungan seorang individu dengan atasannya, hubungan seseorang dengan rekan-rekan sekerjanya, teknik penyeliaan yang diterapkan oleh para penyelia, kebijakan organisasi, sistem administrasi dalam organisasi, kondisi kerja dan sistem imbalan yang berlaku.
Salah satu tantangan dalam memahami dan menerapkan teori Herzberg ialah memperhitungkan dengan tepat faktor mana yang lebih berpengaruh kuat dalam kehidupan seseorang, apakah yang bersifat intrinsik ataukah yang bersifat ekstrinsik.
5. Teori Keadilan
Inti teori ini terletak pada pandangan bahwa manusia terdorong untuk menghilangkan kesenjangan antara usaha yang dibuat bagi kepentingan organisasi dengan imbalan yang diterima. Artinya, apabila seorang pegawai mempunyai persepsi bahwa imbalan yang diterimanya tidak memadai, dua kemungkinan dapat terjadi, yaitu :
a. Seorang akan berusaha memperoleh imbalan yang lebih besar, atau
b. Mengurangi intensitas usaha yang dibuat dalam melaksanakan tugas yang menjadi tanggung jawabnya.
Dalam menumbuhkan persepsi tertentu, seorang pegawai biasanya menggunakan empat hal sebagai pembanding, yaitu :
a. Harapannya tentang jumlah imbalan yang dianggapnya layak diterima berdasarkan kualifikasi pribadi, seperti pendidikan, keterampilan, sifat pekerjaan dan pengalamannya;
b. Imbalan yang diterima oleh orang lain dalam organisasi yang kualifikasi dan sifat pekerjaannnya relatif sama dengan yang bersangkutan sendiri;
c. Imbalan yang diterima oleh pegawai lain di organisasi lain di kawasan yang sama serta melakukan kegiatan sejenis;
d. Peraturan perundang-undangan yang berlaku mengenai jumlah dan jenis imbalan yang merupakan hak para pegawai
Pemeliharaan hubungan dengan pegawai dalam kaitan ini berarti bahwa para pejabat dan petugas di bagian kepegawaian harus selalu waspada jangan sampai persepsi ketidakadilan timbul, apalagi meluas di kalangan para pegawai. Apabila sampai terjadi maka akan timbul berbagai dampak negatif bagi organisasi, seperti ketidakpuasan, tingkat kemangkiran yang tinggi, sering terjadinya kecelakaan dalam penyelesaian tugas, seringnya para pegawai berbuat kesalahan dalam melaksanakan pekerjaan masing-masing, pemogokan atau bahkan perpindahan pegawai ke organisasi lain.
6. Teori penetapan tujuan (goal setting theory)
Edwin Locke mengemukakan bahwa dalam penetapan tujuan memiliki empat macam mekanisme motivasional yakni : (a) tujuan-tujuan mengarahkan perhatian; (b) tujuan-tujuan mengatur upaya; (c) tujuan-tujuan meningkatkan persistensi; dan (d) tujuan-tujuan menunjang strategi-strategi dan rencana-rencana kegiatan. Bagan berikut ini menyajikan tentang model instruktif tentang penetapan tujuan
7. Teori Victor H. Vroom (Teori Harapan )
Victor H. Vroom, dalam bukunya yang berjudul “Work And Motivation” mengetengahkan suatu teori yang disebutnya sebagai “ Teori Harapan”. Menurut teori ini, motivasi merupakan akibat suatu hasil dari yang ingin dicapai oleh seorang dan perkiraan yang bersangkutan bahwa tindakannya akan mengarah kepada hasil yang diinginkannya itu. Artinya, apabila seseorang sangat menginginkan sesuatu, dan jalan tampaknya terbuka untuk memperolehnya, yang bersangkutan akan berupaya mendapatkannya.
Dinyatakan dengan cara yang sangat sederhana, teori harapan berkata bahwa jika seseorang menginginkan sesuatu dan harapan untuk memperoleh sesuatu itu cukup besar, yang bersangkutan akan sangat terdorong untuk memperoleh hal yang diinginkannya itu. Sebaliknya, jika harapan memperoleh hal yang diinginkannya itu tipis, motivasinya untuk berupaya akan menjadi rendah.
Di kalangan ilmuwan dan para praktisi manajemen sumber daya manusia teori harapan ini mempunyai daya tarik tersendiri karena penekanan tentang pentingnya bagian kepegawaian membantu para pegawai dalam menentukan hal-hal yang diinginkannya serta menunjukkan cara-cara yang paling tepat untuk mewujudkan keinginannnya itu. Penekanan ini dianggap penting karena pengalaman menunjukkan bahwa para pegawai tidak selalu mengetahui secara pasti apa yang diinginkannya, apalagi cara untuk memperolehnya.
8. Teori Penguatan dan Modifikasi Perilaku
Berbagai teori atau model motivasi yang telah dibahas di muka dapat digolongkan sebagai model kognitif motivasi karena didasarkan pada kebutuhan seseorang berdasarkan persepsi orang yang bersangkutan berarti sifatnya sangat subyektif. Perilakunya pun ditentukan oleh persepsi tersebut.
Padahal dalam kehidupan organisasional disadari dan diakui bahwa kehendak seseorang ditentukan pula oleh berbagai konsekwensi ekstrernal dari perilaku dan tindakannya. Artinya, dari berbagai faktor di luar diri seseorang turut berperan sebagai penentu dan pengubah perilaku.
Dalam hal ini berlakulah apaya yang dikenal dengan “hukum pengaruh” yang menyatakan bahwa manusia cenderung untuk mengulangi perilaku yang mempunyai konsekwensi yang menguntungkan dirinya dan mengelakkan perilaku yang mengibatkan perilaku yang mengakibatkan timbulnya konsekwensi yang merugikan.
Contoh yang sangat sederhana ialah seorang juru tik yang mampu menyelesaikan tugasnya dengan baik dalam waktu singkat. Juru tik tersebut mendapat pujian dari atasannya. Pujian tersebut berakibat pada kenaikan gaji yang dipercepat. Karena juru tik tersebut menyenangi konsekwensi perilakunya itu, ia lalu terdorong bukan hanya bekerja lebih tekun dan lebih teliti, akan tetapi bahkan berusaha meningkatkan keterampilannya, misalnya dengan belajar menggunakan komputer sehingga kemampuannya semakin bertambah, yang pada gilirannya diharapkan mempunyai konsekwensi positif lagi di kemudian hari.
Contoh sebaliknya ialah seorang pegawai yang datang terlambat berulangkali mendapat teguran dari atasannya, mungkin disertai ancaman akan dikenakan sanksi indisipliner. Teguran dan kemungkinan dikenakan sanksi sebagi konsekwensi negatif perilaku pegawai tersebut berakibat pada modifikasi perilakunya, yaitu datang tepat pada waktunya di tempat tugas.
Penting untuk diperhatikan bahwa agar cara-cara yang digunakan untuk modifikasi perilaku tetap memperhitungkan harkat dan martabat manusia yang harus selalu diakui dan dihormati, cara-cara tersebut ditempuh dengan “gaya” yang manusiawi pula.
9. Teori Kaitan Imbalan dengan Prestasi.
Bertitik tolak dari pandangan bahwa tidak ada satu model motivasi yang sempurna, dalam arti masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan, para ilmuwan terus menerus berusaha mencari dan menemukan sistem motivasi yang terbaik, dalam arti menggabung berbagai kelebihan model-model tersebut menjadi satu model. Tampaknya terdapat kesepakan di kalangan para pakar bahwa model tersebut ialah apa yang tercakup dalam teori yang mengaitkan imbalan dengan prestasi seseorang individu .
Menurut model ini, motivasi seorang individu sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik yang bersifat internal maupun eksternal. Termasuk pada faktor internal adalah : (a) persepsi seseorang mengenai diri sendiri; (b) harga diri; (c) harapan pribadi; (d) kebutuhaan; (e) keinginan; (f) kepuasan kerja; (g) prestasi kerja yang dihasilkan.
Sedangkan faktor eksternal mempengaruhi motivasi seseorang, antara lain ialah : (a) jenis dan sifat pekerjaan; (b) kelompok kerja dimana seseorang bergabung; (c) organisasi tempat bekerja; (d) situasi lingkungan pada umumnya; (e) sistem imbalan yang berlaku dan cara penerapannya.

 

Sigmund Freud dengan Teori Psikoanalisis

Sigmund Freud yang terkenal dengan Teori Psikoanalisis dilahirkan di Morovia, pada tanggal 6 Mei 1856 dan meninggal di London pada tanggal 23 September 1939. Gerald Corey dalam “Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy” menjelaskan bahwa Sigmund Freud adalah anak sulung dari keluarga Viena yang terdiri dari tiga laki-laki dan lima orang wanita. Dalam hidupnya ia ditempa oleh seorang ayah yang sangat otoriter dan dengan uang yang sangat terbatas, sehingga keluarganya terpaksa hidup berdesakan di sebuah aparterment yang sempit, namun demikian orang tuanya tetap berusaha untuk memberikan motivasi terhadap kapasitas intelektual yang tampak jelas dimiliki oleh anak-anaknya.

Sebahagian besar hidup Freud diabdikan untuk memformulasikan dan mengembangkan tentang teori psikoanalisisnya. Uniknya, saat ia sedang mengalami problema emosional yang sangat berat adalah saat kreativitasnya muncul. Pada umur paruh pertama empat puluhan ia banyak mengalami bermacam psikomatik, juga rasa nyeri akan datangnya maut dan fobi-fobi lain. Dengan mengeksplorasi makna mimpi-mimpinya sendiri ia mendapat pemahaman tentang dinamika perkembangan kepribadian seseorang.

Sigmund Freud dikenal juga sebagai tokoh yang kreatif dan produktif. Ia sering menghabiskan waktunya 18 jam sehari untuk menulis karya-karyanya, dan karya tersebut terkumpul sampai 24 jilid. Bahkan ia tetap produktif pada usia senja. Karena karya dan produktifitasnya itu, Freud dikenal bukan hanya sebagai pencetus psikoanalisis yang mencuatkan namanya sebagai intelektual, tapi juga telah meletakkan teknik baru untuk bisa memahami perilaku manusia. Hasil usahanya itu adalah sebuah teori kepribadian dan psikoterapi yang sangat komprehenshif dibandingkan dengan teori serupa yang pernah dikembangkan.

Psikoanalisa dianggap sebagai salah satu gerakan revolusioner di bidang psikologi yang dimulai dari satu metode penyembuhan penderita sakit mental, hingga menjelma menjadi sebuah konsepsi baru tentang manusia. Hipotesis pokok psikoanalisa menyatakan bahwa tingkah laku manusia sebahagian besar ditentukan oleh motif-motif tak sadar, sehingga Freud dijuluki sebagai bapak penjelajah dan pembuat peta ketidaksadaran manusia.

Lima karya Freud yang sangat terkenal dari beberapa karyanya adalah:

(1) The Interpretation of dreams (1900),

(2) The Psichopathology of Everiday Life (1901),

(3) General Introductory Lectures on Psichoanalysis (1917),

4) New Introductory Lectures on Psichoanalysis (1933) dan

(5) An Outline of Psichoanalysis (1940).

Dalam dunia pendidikan pada masa itu, Sigmund Freud belum seberapa populer. Menurut A. Supratika, nama Freud baru dikenal pertama kalinya dalam kalangan psikologi akademis pada tahun 1909, ketika ia diundang oleh G. Stanley Hall, seorang sarjana psikologi Amerika, untuk memberikan serangkaian kuliah di universitas Clark di Worcester, Massachusetts. Pengaruh Freud di lingkungan psikologi baru terasa sekitar tahun 1930-an. Akan tetapi Asosiasi Psikoanalisis Internasional sudah terbentuk tahun 1910, begitu juga dengan lembaga pendidikan psikoanalisis sudah didirikan di banyak negara.

Ø Persepsi tentang sifat manusia

Menurut Sigmund Freud, perilaku manusia itu ditentukan oleh kekuatan irrasional yang tidak disadari dari dorongan biologis dan dorongan naluri psikoseksual tertentu pada masa enam tahun pertama dalam kehidupannya. Pandangan ini menunjukkan bahwa aliran teori Freud tentang sifat manusia pada dasarnya adalah deterministik. Namun demikian menurut Gerald Corey yang mengutip perkataan Kovel, bahwa dengan tertumpu pada dialektika antara sadar dan tidak sadar, determinisme yang telah dinyatakan pada aliran Freud luluh. Lebih jauh Kovel menyatakan bahwa jalan pikiran itu adalah ditentukan, tetapi tidak linier. Ajaran psikoanalisis menyatakan bahwa perilaku seseorang itu lebih rumit dari pada apa yang dibayangkan pada orang tersebut.

Di sini, Freud memberikan indikasi bahwa tantangan terbesar yang dihadapi manusia adalah bagaimana mengendalikan dorongan agresif itu. Bagi Sigmund Freud, rasa resah dan cemas seseorang itu ada hubungannya dengan kenyataan bahwa mereka tahu umat manusia itu akan punah. Sigmund Freud, seorang Jerman keturunan Yahudi yang lahir 6 Mei 1856 di Freiberg (Austria) ini telah membangkitkan semangat manusia untuk berpikir mengenai psikologi. Freud, adalah mahasiswa yang jago di kampusnya. Meraih gelar sarjana dari Universitas Wina pada tahun 1881. Selain itu, Freud juga menguasai 8 bahasa!! Bayangkan, dan dalam umur 30 tahun, telah berhasil menaklukkan sekolah kedokteran. Teorinya dalam ilmu psikodinamika yang membuatku tertarik adalah mengenai ID, EGO dan SUPEREGO.

ID, bagian jiwa paling liar, berpotensi jahat. Ada yang menafsirkan ID sebagai nafsu manusia yang mementingkan kebutuhan perut ke bawah. Di sisi lain, ID, tidak mempertimbangkan akibat dari pemenuhan hasratnya. Intinya, ID adalah bagian jahat dari manusia yang beresiko merugikan orang lain dan diri sendiri. ID sebenarnya adalah yang menguasai manusia pada umur 0-2 tahun.

EGO, sebenarnya tidak jauh berbeda dengan ID. EGO juga ditafsirkan sebagai nafsu untuk memanuhi nafsu. Hanya saja telah ada kontrol dari manusia itu sendiri. Sudah ada pertimbangan, dan telah memikirkan akibat dari yang telah dilakukannya. Tepatnya, EGO adalah pengontrol ID. Contoh nyata dari EGO adalah peraturan. Semua rule yang dibuat adalah untuk mencegah manusia menjadi liar dan tak terkontrol. Freud menyatakan bahwa EGO banyak mendominasi manusia pada umur 2-3th.

SUPEREGO, atau yang lebih sering di sebut dengan HATI NURANI. Pembentukan dan perkembangan super ego sangat ditentukan oleh pengarahan atau bimbingan lingkungan sejak usia dini. Bila seseorang di asuh dalam lingkungan yang serba cuek dan mau menang sendiri, bisa dipastikan, SUPER EGO atau NURANINYA tumpul. sedangkan SUPEREGO ada dan muncul pada diri manusia pada umur 3 tahun ke atas.

Tapi jangan salah, walaupun telah dikelompokkan ke dalam tahun-tahun munculnya, ID, EGO dan SUPEREGO mutlak ada pada diri manusia. Mereka memang muncul pada umur sekian dan sekian, tapi bukan berarti tidak akan pernah muncul lagi. ke tiga bagian jiwa ini akan terus menghiasi keseharian manusia. Tergantung, bagaimana mereka memanajemen bagian jiwa tersebut. Manusia dewasa yang IDnya lebih dominan akan menjadi cikal bakal psiko(pat), tidak berperi kemanusiaan seperti Hitler, dan mereka adalah tikus-tikus kotor yang mencuru uang-uang rakyat. Yang mereka adalah orang-orang kejam. Tapi perlu kita ketahui, betapapun kejamnya, mereka tak lebih dari anak kecil yang berumur tak sampai 3 tahuN.

Sedangkan bila IDnya telah dikuasai EGO, ia akan menjadi orang yang mulai memikirkan. Benar atau salah, Tapi pemikiran seringkali tumpul dan sangan tergantung dengan suasana di sekitarnya. Itulah lemahnya ID. Sangat beruntung bila seseorang bisa mengoptimalkan fungsi SUPER EGOnya. Dia memikirkan dan dia merasakan. Dia mempertimbangkan dan lebih berpikir objektif dalam menghadapi masalah. Dengan SUPER EGO manusia belajar memengerti dan menindak lanjuti dengan kepala dingin. Berusaha seoptimal mungkin untuk tidak merugikan siapapun, karena ia tahu betapa sakit dan sedihnya bila dirugikan, apalagi dirugikan secara moral, sosial dan psikologi. Dan mempelajari psikologi adalah hal yang paling menyenangkan, dalam tanda kutip, bila kau berniat mempelajarinya.

Ø Struktur Kepribadian

Dalam teori psikoanalitik, struktur kepribadian manusia itu terdiri dari id, ego dan superego. Id adalah komponen kepribadian yang berisi impuls agresif dan libinal, dimana sistem kerjanya dengan prinsip kesenangan “pleasure principle”. Ego adalah bagian kepribadian yang bertugas sebagai pelaksana, dimana sistem kerjanya pada dunia luar untuk menilai realita dan berhubungan dengan dunia dalam untuk mengatur dorongan-dorongan id agar tidak melanggar nilai-nilai superego. Superego adalah bagian moral dari kepribadian manusia, karena ia merupakan filter dari sensor baik- buruk, salah- benar, boleh- tidak sesuatu yang dilakukan oleh dorongan ego.

Gerald Corey menyatakan dalam perspektif aliran Freud ortodoks, manusia dilihat sebagai sistem energi, dimana dinamika kepribadian itu terdiri dari cara-cara untuk mendistribusikan energi psikis kepada id, ego dan super ego, tetapi energi tersebut terbatas, maka satu diantara tiga sistem itu memegang kontrol atas energi yang ada, dengan mengorbankan dua sistem lainnya, jadi kepribadian manusia itu sangat ditentukan oleh energi psikis yang menggerakkan.

Menurut Calvil S. Hall dan Lindzey, dalam psikodinamika masing-masing bagian dari kepribadian total mempunyai fungsi, sifat, komponen, prinsip kerja dinamika dan mekanisme tersendiri, namun semuanya berinteraksi begitu erat satu sama lainnya, sehingga tidak mungkin dipisahkan. Id bagian tertua dari aparatur mental dan merupakan komponen terpenting sepanjang hidup. Id dan instink-instink lainnya mencerminkan tujuan sejati kehidupan organisme individual. Jadi id merupakan pihak dominan dalam kemitraan struktur kepribadian manusia.

Menurut S. Hall dan Lindzey, dalam Sumadi Suryabarata, cara kerja masing-masing struktur dalam pembentukan kepribadian adalah:

1) apabila rasa id-nya menguasai sebahagian besar energi psikis itu, maka pribadinya akan bertindak primitif, implusif dan agresif dan ia akan mengubar impuls-impuls primitifnya,

(2) apabila rasa ego-nya menguasai sebagian besar energi psikis itu, maka pribadinya bertindak dengan cara-cara yang realistik, logis, dan rasional, dan

(3) apabila rasa super ego-nya menguasai sebagian besar energi psikis itu, maka pribadinya akan bertindak pada hal-hal yang bersifat moralitas, mengejar hal-hal yang sempurna yang kadang-kadang irrasional.

Jadi untuk lebih jelasnya sistem kerja ketiga struktur kepribadian manusia tersebut adalah: Pertama, Id merupakan sistem kepribadian yang orisinil, dimana ketika manusia itu dilahirkan ia hanya memiliki Id saja, karena ia merupakan sumber utama dari energi psikis dan tempat timbulnya instink. Id tidak memiliki organisasi, buta, dan banyak tuntutan dengan selalu memaksakan kehendaknya. Seperti yang ditegaskan oleh A. Supratika, bahwa aktivitas Id dikendalikan oleh prinsip kenikmatan dan proses primer. Kedua, Ego mengadakan kontak dengan dunia realitas yang ada di luar dirinya.

Di sini ego berperan sebagai “eksekutif” yang memerintah, mengatur dan mengendalikan kepribadian, sehingga prosesnya persis seperti “polisi lalulintas” yang selalu mengontrol jalannya id, super- ego dan dunia luar. Ia bertindak sebagai penengah antara instink dengan dunia di sekelilingnya. Ego ini muncul disebabkan oleh kebutuhan-kebutuhan dari suatu organisme, seperti manusia lapar butuh makan. Jadi lapar adalah kerja Id dan yang memutuskan untuk mencari dan mendapatkan serta melaksanakan itu adalah kerja ego. Sedangkan yang ketiga, superego adalah yang memegang keadilan atau sebagai filter dari kedua sistem kepribadian, sehingga tahu benar-salah, baik-buruk, boleh-tidak dan sebagainya. Di sini superego bertindak sebagai sesuatu yang ideal, yang sesuai dengan norma-norma moral masyarakat.

Ø Kesadaran dan ketidaksadaran

Pemahaman tentang kesadaran dan ketidaksadaran manusia merupakan salah satu sumbangan terbesar dari pemikiran Freud. Menurutnya, kunci untuk memahami perilaku dan problema kepribadian bermula dari hal tersebut. Ketidakasadaran itu tidak dapat dikaji langsung, karena perilaku yang muncul itu merupakan konsekuensi logisnya. Menurut Gerald Corey, bukti klinis untuk membenarkan alam ketidaksadaran manusia dapat dilihat dari hal-hal berikut, seperti:

(1) mimpi; hal ini merupakan pantulan dari kebutuhan, keinginan dan konflik yang terjadi dalam diri,

(2) salah ucap sesuatu; misalnya nama yang sudah dikenal sebelumnya,

(3) sugesti pasca hipnotik,

(4) materi yang berasal dari teknik asosiasi bebas, dan

(5) materi yang berasal dari teknik proyeksi, serta isi simbolik dari simptom psikotik.

Sedangkan kesadaran itu merupakan suatu bagian terkecil atau tipis dari keseluruhan pikiran manusia. Hal ini dapat diibaratkan seperti gunung es yang ada di bawah permukaan laut, dimana bongkahan es itu lebih besar di dalam ketimbang yang terlihat di permukaan. Demikianlah juga halnya dengan kepribadian manusia, semua pengalaman dan memori yang tertekan akan dihimpun dalam alam ketidaksadaran.

Ø Kecemasan

Bagian yang tidak kalah penting dari teori Freud adalah tentang kecemasan. Gerald Corey mengartikan kecemasan itu adalah sebagai suatu keadaan tegang yang memaksa kita untuk berbuat sesuatu. Kecemasan ini menurutnya berkembang dari konflik antara sistem id, ego dan superego tentang sistem kontrol atas energi psikis yang ada. Fungsinya adalah mengingatkan adanya bahaya yang datang.

Sedangkan menurut Calvin S. Hall dan Lindzey, kecemasan itu ada tiga: kecemasan realita, neurotik dan moral.

(1) kecemasan realita adalah rasa takut akan bahaya yang datang dari dunia luar dan derajat kecemasan semacam itu sangat tergantung kepada ancaman nyata.

(2) kecemasan neurotik adalah rasa takut kalau-kalau instink akan keluar jalur dan menyebabkan sesorang berbuat sesuatu yang dapat mebuatnya terhukum, dan

(3) kecemasan moral adalah rasa takut terhadap hati nuraninya sendiri. Orang yang hati nuraninya cukup berkembang cenderung merasa bersalah apabila berbuat sesuatu yang bertentangan dengan norma moral.

Ø Mekanisme pertahanan ego

Untuk menghadapi tekanan kecemasan yang berlebihan, sistem ego terpaksa mengambil tindakan ekstrim untuk menghilangkan tekanan itu. Tindakan yang demikian itu, disebut mekanisme pertahanan, sebab tujuannya adalah untuk mempertahankan ego terhadap tekanan kecemasan. Dalam teori Freud, bentuk-bentuk mekanisme pertahanan yang penting adalah:

(1) represi; ini merupakan sarana pertahanan yang bisa mengusir pikiran serta perasaan yang menyakitkan dan mengancam keluar dari kesadaran,

(2) memungkiri; ini adalah cara mengacaukan apa yang dipikirkan, dirasakan, atau dilihat seseorang dalam situasi traumatik,

(3) pembentukan reaksi; ini adalah menukar suatu impuls atau perasaan yang menimbulkan kecemasan dengan melawannya dalam kesadaran,

(4) proyeksi; ini berarti memantulkan sesuatu yang sebenarnya terdapat dalam diri kita sendiri ke dunia luar,

(5) penggeseran; merupakan suatu cara untuk menangani kecemasan dengan menyalurkan perasaan atau impuls dengan jalan menggeser dari objek yang mengancam ke “sasaran yang lebih aman”,

(6) rasionalisasi; ini cara beberapa orang menciptakan alasan yang “masuk akal” untuk menjelaskan disingkirnya ego yang babak belur,

(7) sublimasi; ini suatu cara untuk mengalihkan energi seksual kesaluran lain, yang secara sosial umumnya bisa diterima, bahkan ada yang dikagumi,

(8) regresi; yaitu berbalik kembali kepada prilaku yang dulu pernah mereka alami,

(9) introjeksi; yaitu mekanisme untuk mengundang serta “menelaah” sistem nilai atau standar orang lain,

(10) identifikasi,

(11) konpensasi, dan

(12) ritual dan penghapusan.

Ø Perkembangan kepribadian

Perkembangan manusia dalam psikoanalitik merupakan suatu gambaran yang sangat teliti dari proses perkembangan psikososial dan psikoseksual, mulai dari lahir sampai dewasa. Dalam teori Freud setiap manusia harus melewati serangkaian tahap perkembangan dalam proses menjadi dewasa. Tahap-tahap ini sangat penting bagi pembentukan sifat-sifat kepribadian yang bersifat menetap.

Menurut Freud, kepribadian orang terbentuk pada usia sekitar 5-6 tahun (dalam A.Supratika), yaitu:

(1) tahap oral,

(2) tahap anal: 1-3 tahun,

(3) tahap palus: 3-6 tahun,

(4) tahap laten: 6-12 tahun,

(5) tahap genetal: 12-18 tahun,

(6) tahap dewasa, yang terbagi dewasa awal, usia setengah baya dan usia senja.

Ø Aplikasi Teori Sigmund Freud Dalam Bimbingan

Apabila menyimak konsep kunci dari teori kepribadian Sigmund Freud, maka ada beberapa teorinya yang dapat aplikasikan dalam bimbingan, yaitu:

Pertama, konsep kunci bahwa ”manusia adalah makhluk yang memiliki kebutuhan dan keinginan”. Konsep ini dapat dikembangkan dalam proses bimbingan, dengan melihat hakikatnya manusia itu memiliki kebutuhan-kebutuhan dan keinginan-keinginan dasar. Dengan demikian konselor dalam memberikan bimbingan harus selalu berpedoman kepada apa yang dibutuhkan dan yang diinginkan oleh konseli, sehingga bimbingan yang dilakukan benar-benar efektif. Hal ini sesuai dengan fungsi bimbingan itu sendiri. Mortensen (dalam Yusuf Gunawan) membagi fungsi bimbingan kepada tiga yaitu:

(1) memahami individu (understanding-individu),

(2) preventif dan pengembangan individual, dan

(3) membantu individu untuk menyempurnakannya.

· Memahami individu.

Seorang guru dan pembimbing dapat memberikan bantuan yang efektif jika mereka dapat memahami dan mengerti persoalan, sifat, kebutuhan, minat, dan kemampuan anak didiknya. Karena itu bimbingan yang efektif menuntut secara mutlak pemahaman diri anak secara keseluruhan. Karena tujuan bimbingan dan pendidikan dapat dicapai jika programnya didasarkan atas pemahaman diri anak didiknya. Sebaliknya bimbingan tidak dapat berfungsi efektif jika konselor kurang pengetahuan dan pengertian mengenai motif dan tingkah laku konseling, sehingga usaha preventif dan treatment tidak dapat berhasil baik

· Preventif dan pengembangan individual.

Preventif dan pengembangan merupakan dua sisi dari satu mata uang. Preventif berusaha mencegah kemorosotan perkembangan anak dan minimal dapat memelihara apa yang telah dicapai dalam perkembangan anak melalui pemberian pengaruh-pengaruh yang positif, memberikan bantuan untuk mengembangkan sikap dan pola perilaku yang dapat membantu setiap individu untuk mengembangkan dirinya secara optimal.

· Membantu individu untuk menyempurnakan.

Setiap manusia pada saat tertentu membutuhkan pertolongan dalam menghadapi situasi lingkungannya. Pertolongan setiap individu tidak sama. Perbedaan umumnya lebih pada tingkatannya dari pada macamnya, jadi sangat tergantung apa yang menjadi kebutuhan dan potensi yang ia meliki. Bimbingan dapat memberikan pertolongan pada anak untuk mengadakan pilihan yang sesuai dengan potensi dan kemampuan yang dimilikinya. Jadi dalam konsep yang lebih luas, dapat dikatakan bahwa teori Freud dapat dijadikan pertimbangan dalam melakukan proses bantuan kepada konseli, sehingga metode dan materi yang digunakan sesuai dengan kebutuhan dan keinginan individu.

Kedua, konsep kunci tentang “kecemasan” yang dimiliki manusia dapat digunakan sebagai wahana pencapaian tujuan bimbingan, yakni membantu individu supaya mengerti dirinya dan lingkungannya; mampu memilih, memutuskan dan merencanakan hidup secara bijaksana; mampu mengembangkan kemampuan dan kesanggupan, memecahkan masalah yang dihadapi dalam kehidupannya; mampu mengelola aktivitasnya sehari-hari dengan baik dan bijaksana; mampu memahami dan bertindak sesuai dengan norma agama, sosial dalam masyarakatnya.

Dengan demikian kecemasan yang dirasakan akibat ketidakmampuannya dapat diatasi dengan baik dan bijaksana. Karena menurut Freud setiap manusia akan selalu hidup dalam kecemasan, kecemasan karena manusia akan punah, kecemasan karena tidak dapat bersosialisasi dengan lingkungan dan banyak lagi kecemasan-kecemasan lain yang dialami manusia, jadi untuk itu maka bimbingan ini dapat merupakan wadah dalam rangka mengatasi kecemasan.

Ketiga, konsep psikolanalisis yang menekankan pengaruh masa lalu (masa kecil) terhadap perjalanan manusia. Walaupun banyak para ahli yang mengkritik, namun dalam beberapa hal konsep ini sesuai dengan konsep pembinaan dini bagi anak-anak dalam pembentukan moral individual. Dalam sistem pemebinaan akhlak individual, Islam menganjurkan agar keluarga dapat melatih dan membiasakan anak-anaknya agar dapat tumbuh berkembang sesuai dengan norma agama dan sosial. Norma-norma ini tidak bisa datang sendiri, akan tetapi melalui proses interaksi yang panjang dari dalam lingkungannya. Bila sebuah keluarga mampu memberikan bimbingan yang baik, maka kelak anak itu diharapkan akan tumbuh menjadi manusia yang baik.

Dalam hal ini sebuah hadis Nabi menyatakan bahwa “Setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan fitrah, hingga lisannya fasih. Kedua orangtuanyalah yang ikut mewarnainya sampai dewasa.” Selain itu seorang penyair menyatakan bahwa “Tumbuhnya generasi muda kita seperti yang dibiasakan oleh ayah-ibunya”.

Hadis dan syair tersebut di atas sejalan dengan konsep Freud tentang kepribadian manusia yang disimpulkannya sangat tergantung pada apa yang diterimanya ketika ia masih kecil. Namun tentu saja terdapat sisi-sisi yang tidak begitu dapat diaplikasikan, karena pada hakikatnya manusia itu juga bersifat baharu.

Keempat, teori Freud tentang “tahapan perkembangan kepribadian individu” dapat digunakan dalam proses bimbingan, baik sebagai materi maupun pendekatan. Konsep ini memberi arti bahwa materi, metode dan pola bimbingan harus disesuaikan dengan tahapan perkembangan kepribadian individu, karena pada setiap tahapan itu memiliki karakter dan sifat yang berbeda. Oleh karena itu konselor yang melakukan bimbingan haruslah selalu melihat tahapan-tahapan perkembangan ini, bila ingin bimbingannya menjadi efektif.

Kelima, konsep Freud tentang “ketidaksadaran” dapat digunakan dalam proses bimbingan yang dilakukan pada individu dengan harapan dapat mengurangi impuls-impuls dorongan Id yang bersifat irrasional sehingga berubah menjadi rasional.

Satu hal yang akan mempermudah mengenali siapapun adalah dengan melihat kepribadiannya. Kepribadian sering dipahami sebagai suatu pola pikir, perasaan dan perilaku yang telah berakar dan bersifat tetap. Ia merupakan keseluruhan pola yang menyangkut kemampuan, perbuatan dan kebiasaan baik secara jasmani, rohani, emosional maupun sosial. Pola ini telah terbentuk secara khas yang ditata dari dalam serta dibawah pengaruh lingkungan. Pola ini akan muncul dalam kebiasaan perilaku dan yang akan dipertahankan serta menjadi identitasnya dalam usahanya menjadi manusia sebagaimana yang dikehendakinya. Melalui kepribadian seseorang dapat diperkirakan tindakan ataupun reaksinya terhadap situasi yang berbeda-beda.Satu teori kepribadian yang sangat berpengaruh adalah teori psychoanalytic dari Sigmund Freud.

Ia meyakini bahwa proses bawah sadar menuntun bagian besar dari perilaku seseorang. Meskipun orang sering tidak menyadari dorongan dan arahan itu tetapi alam bawah sadar akan tetap mendorong dan mengendalikannya. Teori kepribadian lain yang juga sangat berpengaruh adalah teori yang diturunkan dari behaviourism. Cara pandang ini disampaikan oleh pemikir-pemikir barat baik Eropa maupun Amerika dengan salah satu tokohnya B.F. Skinner, yang menempatkan tekanan utama pada learning (pembelajaran). Skinner melihat bahwa perilaku ditentukan terutama oleh konsekuensi-konsekuensi yang terjadi. Apabila dihargai, maka suatu kebiasaan perilaku akan selalu muncul sebaliknya apabila tertekan oleh hukuman suatu perilaku tidak akan kembali.

Dua teori inilah yang akan secara khusus dipakai dalam memahami kepribadian sebagai sarana untuk lebih mengenalinya baik proses pembentukannya maupun perkembangannya dan bagaimana kita mengendalikan perubahan yang memungkinkan kearah yang lebih baik.Bagaimana psikoanalis menerangkan kepribadian.
Kepribadian muncul melalui aktivitas, tingkah laku, perbuatan dan ekspresi. Pada awalnya, Sigmund Freud (1856 - 1939 ) menyatakan bahwa kehidupan psikis manusia dipengaruhi oleh dua sistem yaitu sistem sadar-pra sadar dan sistem tak sadar. Sehingga oleh Freud jiwa manusia digambarkan seperti gunung es, dimana hal-hal yang nampak hanyalah 10 persen saja, berupa alam sadar, sedangkan 90 persen yang tidak nampak adalah alam bawah sadar. Sehingga alam bawah sadar merupakan sumber energi psikis yang lebih besar yang potensi menimbulkan konflik batin.

Dalam perkembangan pemikiran selanjutnya Freud tidak lagi membagi hidup psikis seseorang menjadi dua tetapi tiga sistem yaitu Id, Ego dan Superego. Sistem Id merupakan sumber energi psikis yang berasal dari instink-instink biologis manusia yang merupakan naluri bawaan, antara lain instink seksual, instink agresivitas, juga keinginan-keinginan terpendam lainnya. Menurut teori Freud, hidup psikis bayi sebelum dan baru dilahirkan hanya memiliki Id saja, sehingga Id merupakan dasar dan sumber pembentukan hidup psikis manusia selanjutnya. Id mewakili segi-segi kehidupan instinktual, primitif dan irasional yang sering muncul menjadi 'menara' dari dorongan-dorongan yang tidak disadari. Secara mudah Id dapat kita amati dalam aktivitas anak-anak pada awal tahap kehidupannya.

Sedangkan yang dimaksudkan pengertian Ego dalam hal ini bukanlah pengertian ego dalam psikologi yang berarti "Aku", tetapi Freud memahaminya sebagai bentukan deferensiasi dari Id karena kontaknya dengan dunia luar. Aktivitas ego bersifat sadar, pra-sadar dan tidak sadar. Aktivitas sadar, misalnya terlihat dalam proses-proses intelektual, persepsi lahiriah dan persepsi batiniah. Aktivitas tak sadar dilakukan pada mekanisme-mekanisme pertahanan, dan aktivitas pra-sadar terlihat pada fungsi ingatan.

Sistem Ego memiliki ciri khas bahwa ia seluruhnya dikuasai oleh realitas. Tugas yang diembannya adalah mempertahankan kepribadiannya yang telah dimiliki dan mengadakan penyesuaian dengan lingkungan, serta perperan menyelesaikan konflik-konflik dengan realitas dan konflik-konflik yang tidak cocok satu sama lain. Ego juga mengontrol apa yang akan muncul dalam kesadaran dan apa yang akan dikerjakan. Sehingga Ego-lah yang bertanggungjawab menjamin keutuhan kepribadian.

Secara umum Ego bertanggungjawab merencanakan, memecahkan masalah, dan menciptakan teknik-teknik untuk menguasai realitas disekitarnya, karena Ego diperlengkapi dengan kemampuan mengendalikan impuls-impuls manusia dari ekspresi hiperaktif dan dorongan agresivitas. Sehingga Egolah yang harus mengendalikan Id untuk menjamin kelancaran interaksi individu dengan realitas atau dunia sekitarnya.

Sedangkan sistem yang ketiga, Superego menurut Freud dibentuk dengan jalan internalisasi, sehingga setiap orang akan membentuk Superego. Sebagai contoh sederhana, pada awalnya seorang anak menerima perintah dan larangan dari orang tuanya pada suatu hal. Pada awalnya anak ini hanya menuruti dan memperhatikan larangan dan perintahnya saja, dengan akibat memperoleh penghargaan atau hukuman.

Ketaatannya ditentukan oleh ada tidaknya pengawasan, tetapi kemudian terjadi proses internalisasi, yaitu ketika ketaatan itu muncul dari dirinya sendiri tanpa kehadiran sipapun disekitarnya. Saat itulah muncul 'orang tua batin' pada diri anak yang akan terus-menerus mengawasinya. 'Orang tua batin' ini akan selalu ada dalam dirinya dan akan menghukum maupun memuji dirinya terhadap suatu tindakan yang dilakukan. Freud menemukan bahwa Superego adalah merupakan sumber berbagai gangguan kejiwaan.

Dalam proses perkembangan seorang manusia maka konflik akan selalu terjadi antara Id dan Superego, sedangkan Ego selalu berada diantaranya. Ketiga Ego secara spontan didorong Id memenuhi keinginan-keinginannya, maka superego akan menegur apabila pemenuhan dorongan itu tidak tepat, bahkan akan menuduh setiap dorongan yang arahnya kurang tepat. Ego yang akan menerima siksaan dari Superego terhadap suatu dorongan dari Id yang tidak baik dan apabila kekuatan Superego lebih besar, Ego bukan saja tidak melakukannya tetapi akan menutup dan menggesernya serta menyembunyikan dorongan tadi. Konflik akan selalu muncul dari intink-instink yang tidak terekendali dari Id dengan larangan-larangan moralis dari Superego.

Apabila Superego dominan maka seseorang akan mengembangkan sikap bersalah, penuh dosa yang akan nampak dalam perilakunya yang moralis, alim dan saleh. Sehingga segala sesuatunya diukur dengan hukum-hukum moralitas, sehingga akan terus berkembang rasa berdosa atau bersalah pada dirinya. Sedangkan dominasi Id akan membentuk seseorang menjadi narsistis, egois, individualistis yang hanya akan mementingkan dirinya tanpa melihat kepentingan orang lain. Dalam keadaan Id superior dengan Ego dan Superego lemah, maka dorongan-dorongan instink biologis itu tidak terkendali akan membentuk orang menjadi seseorang yang egosentris dan selalu memaksakan kehendak atau keinginannya sendiri. Sikapnya menjadi sewenang-wenang, yang diketahuinya hanyalah bagaimana mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dengan tidak segan-segan merugikan orang lain. Sikap anti-sosial ini juga disebabkan ketiadaan nilai-nilai moral dalam memenuhi keinginannya untuk memperoleh kesenangan-kesenangan pribadi. Ego akan berhadapan dengan kecondongan-kecondongan spontan dari lapisan Id dan dari tuntutan-tuntutan Superego. Ego harus mengambil sikap, dan apabila seseorang memiliki Ego lemah, ia akan memenuhi setiap keinginan-keinginan spontan.



TEORI MASLOW TINGKAT KENIKMATAN MAKAN

Ø Riwayat Hidup Abraham Maslow (1908-1970)

Abraham Maslow dilahirkan di Brooklyn, New York, pada tahun 1908 dan wafat pada tahun 1970 dalam usia 62 tahun. Maslow dibesarkan dalam keluarga Yahudi dan merupakan anak tertua dari tujuh bersaudara. Masa muda Maslow berjalan dengan tidak menyenangkan karena hubungannya yang buruk dengan kedua orangtuanya. Semasa kanak-kanak dan remaja Maslow merasa bahwa dirinya amat menderita dengan perlakuan orangtuanya, terutama ibunya.

Keluarga Maslow amat berharap bahwa ia dapat meraih sukses melalui dunia pendidikan. Untuk menyenangkan kemauan ayahnya, Maslow sempat belajar di bidang Hukum tetapi kemudian tidak dilanjutkannya. Ia akhirnya mengambil bidang studi psikologi di University of Wisconsin, dimana ia memperoleh gelar Bachelor tahun 1930, Master tahun 1931, dan Ph.D pada tahun 1934.

Abraham Maslow dikenal sebagai pelopor aliran psikologi humanistik. Maslow percaya bahwa manusia tergerak untuk memahami dan menerima dirinya sebisa mungkin. Teorinya yang sangat terkenal sampai dengan hari ini adalah teori tentang Hierarchy of Needs (Hirarki Kebutuhan). Menurut Maslow, manusia termotivasi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Kebutuhan-kebutuhan tersebut memiliki tingkatan atau hirarki, mulai dari yang paling rendah (bersifat dasar/fisiologis) sampai yang paling tinggi (aktualisasi diri).

Adapun hirarki kebutuhan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Kebutuhan fisiologis / dasar Hirarki Kebutuhan Maslow

2. Kebutuhan akan rasa aman dan tentram

3. Kebutuhan untuk dicintai dan disayangi

4. Kebutuhan untuk dihargai

5. Kebutuhan untuk aktualisasi diri
Kebutuhan Menurut A. Maslow Piramida kebutuhan hidup manusia menggambarkan tahap-tahapyangdibutuhkanolehmanusia dalam menjalani kehidupannya. Salah satu yang paling terkenal dan sering dipakai oleh masyarakat adalah Piramida Kebutuhan Abraham Maslow. Kalau kita lihat, Kebutuhan kita menurut Maslow dimulai dari kebutuhan paling dasar yaitu kebutuhan fisiologis, makan dan minum. Selanjutnya kebutuhan akan rasa aman, Rasa Cinta dan dimiliki. Selanjutnya menuju pada Kebutuhan akan Pengakuan. Akhirnya kebutuhan terakhir adalah mencapai Aktualisasi Diri atau Mencari Jati Diri.

Namun ada sebuah loncatan pada Piramida kebutuhan yang paling tinggi. Kebutuhan Mencapai Aktualisasi Diri. Kebutuhan itu sama sekali berbeda dengan keempat kebutuhan lainnya, yang secara logika mudah dimengerti, namun mengapa setelah seseorang mencari pengakuan, mencari penghormatan, kok lalu mencari jati
diri? Mengapa? Dan Bagaimana prosesnya? Seakan-akan ada missing link diantara Piramida ke-4 dengan Puncak Piramida ke-5. Seolah-olah terjadi lompatan logika.
Pada saat Bill Gates mengundurkan diri dari Microsoft Corp. semua orang bingung. mengapa orang yang paling kaya sedunia, yang paling berkuasa dengan uangnya,
yang paling berpengaruh, paling dihormati seluruh dunia karena prestasinya karena kekuatannya, tiba-tiba mengundurkan diri pada usia muda, dan lalu mau
mengurusi yayasan sosial mengurusi korban HIV / AIDS.

Ini yang menjadi suatu lompatan logika. Seolah-olah seluruh dunia terkejut. Mengapa? Untuk apa? Mengapa kok tiba-tiba seseorang bisa melepaskan diri dari dunia nyata, dunia dimana uang dan kekuasaan berbicara? Apa isi dunia kehidupan setelah uang dan materi? Bagaimana prosesnya Bill Gates tiba-tiba mencapai Aktualisasi Diri dengan tidak lagi peduli dengan Uangnya, dengan Kekuasaannya? Berarti ada Kebutuhan lain selain kebutuhan hidup kita untuk memiliki makanan, rasa aman, Cinta dan Pengakuan. Ada Piramida Kebutuhan lain selain kebutuhan Duniawi, yaitu Kebutuhan Jiwa.

Kebutuhan hidup manusia menurut Abraham Maslow ini tidak bisa menjelaskan mengapa kenyataannya bahwa orang yang miskin banyak yang bahagia, mereka tidak
terpengaruh dengan perbedaan jenis makanan, minuman atau rumah yang ditempati, seakan-akan ukuran kebutuhan dasar hidup bukanlah itu.Selain itu, juga banyak orang yang sangat membutuhkan rasa Cinta, semuanya sangat menyukai untuk
membahas masalah Cinta, mengekspresikan Cinta, namun semakin dirasakan, Cinta semakin membuat rasa sakit. Aneh, manusia butuh rasa Cinta tapi semakin mendalam
rasa Cinta yang dimiliki semakin menyakitkan akibatnya, seolah-olah bukan itu yang sejati. Bukan itu yang sesungguhnya dibutuhkan. Bukan Cinta yang
begitu. Lalu Cinta yang bagaimana? Seharusnya, hakekat hidup Manusia adalah untuk
memenuhi Kebutuhannya, dengan demikian seharusnya orang yang telah memenuhi Kebutuhannya dianggap lebih tinggi, atau dihormati. Kenyataannya orang Kaya,
orang yang mengagung-agungkan Cinta malah dibenci.

Kalau kebencian terhadap Orang Kaya sudah jelas. Namun selain itu, juga orang-orang yang mengagungkan Cinta seperti Julius Caesar malah dibunuh. Malah tidak dihormati. Lalu kalau demikian, buat apa manusia memenuhi Kebutuhannya kalau dengan demikian semakin dibenci? Untuk apa? Seolah ada paradoksdalam hal ini. Kitab suci mengatakan bahwa “Manusia tidak hanya makan dari roti”. Nah, kalau manusia tidak hanya membutuhkan roti untuk makanan dalam hidup, lalu apa kebutuhan manusia yang sesungguhnya?