Rabu, 02 Juni 2010

Kode etik

1.  KODE ETIK

 

Seorang salesman bercerita soal dilema yang dihadapinya terkait penjualan versus etika bekerja. Seorang pelanggan penting yang selama ini mendatangkan omzet signifikan, butuh produk kompetitor. Sayangnya perusahaan tempatnya bekerja tidak punya hubungan baik dengan kompetitor tersebut. Ia merasa kesempatannya hanyalah menjual barang itu secara pribadi ke pelanggan tersebut, karena bila ia tidak melayani pelanggan, kompetitor bisa ‘masuk’. Namun, jika ia berterus terang pada perusahaan, ada risiko perusahaan tidak mengijinkan. Sementara, bila ia ketahuan menjual barang tersebut secara pribadi,  ia bisa dianggap melakukan “moonlighting” alias ‘ngobyek’.

 

Kasus-kasus seperti inilah yang saya amati kerap jadi pembahasan panjang, dalam beberapa program sosialisasi values maupun budaya perusahaan akhir-akhir ini. Banyak sekali concern terhadap kesuksesan bisnis yang buntut-buntutnya mendiskusikan dilema atau pertentangan dengan etika kerja, pelanggaran sistem dan prosedur, juga ‘kreativitas’ dalam melihat celah. Di banyak perusahaan di mana ‘trust’, ‘code of conduct, “do’s dan dont’s “ yang menunjang integritas setiap individu sudah digariskan, tetap saja timbul pertanyaan-pertanyaan yang terkadang tidak mudah dijawab. Bolehkah mengundang klien dalam pesta pernikahan kita? Bolehkan menerima hadiah ulang tahun yang sangat pribadi tetapi cukup berharga, dari klien yang sudah menjadi kawan baik? Rasa-rasanya setumpuk peraturan pun tidak akan bisa mencakup semua perilaku.

 

Halal tidak Halal

 

Ketika 10 tahun yang lalu, di Eropa, saya menyaksikan sebuah iklan hamburger  yang menulis dengan gamblang: “Daging kami 50 mm lebih tebal daripada.produk ’X’ (produk kompetitor)”, saya merasa  bahwa  rambu-rambu etik profesi, etika bisnis sudah bergeser. Sebuah perusahaan iklan kini tidak lagi hanya melayani satu klien per jenis produk, karena produk di pasaran sudah terlalu banyak. Kita juga tidak bisa marah bila pelanggan “ikut” dengan “account officer” yang disukainya bila si AO pindah ke perusahaan lain.  

 

Terkadang kita bertanya-tanya, demi kesuksesan karir dan bisnis,  ‘halal’kah kita melanggar nasihat-nasihat yang kita dapat dari guru-guru dan orang tua kita saat masih kecil, bahwa ‘kita harus adil’, ‘kita perlu memikirkan perasaan orang lain’, ‘kita harus merespek orang lain’, ‘kita harus tulus’, ‘kita harus tahu cara berterimakasih’, ‘kita “harus melindungi yang lemah’?

 

Agresivitas merebut pasar, entrepreneurship, arogansi sebagai pemenang, pemanfaatan wewenang yang sulit dibuktikan kesalahannya, proteksi terhadap “intelectual property”, sering menyebabkan tindakan yang “kasar” dan  pelanggaran terhadap nasehat-nasehat orangtua tersebut “dihalalkan”. Kadang kita berupaya mencari pembenaran, “Kalau kita nggak duluan nginjak, kita yang akan diinjak...”. Pembenaran seperti  ini keluar spontan tanpa rasa bersalah untuk melakukan “survival” bisnis ataupun karir.   Kadang, sebagai orang yang sudah makan asam garam kehidupan kitapun “speechless” menghadapi tindakan-tindakan ini. Semuanya benar, tinggal kita kembalikan lagi pada diri kita dan berpikir, “Apakah ini etis? Apakah kita mau meneruskan kehidupan dengan meremehkan “harga“ orang lain dan “harga” diri kita?

 

Rogoh  Hati Nurani

 

Bila saja keberanian, kegagahan, dedikasi, motivasi di-support oleh pemahaman dan pengolahan tata krama kehidupan, maka  etika dan tata cara berperilaku dalam pergaulan dan bisnis pun tetap bisa kita kembangkan. Kita tahu bahwa para artis sedang melakukan gerakan anti “pembajakan”. Setelah tahu, apakah kita kemudian berhenti membeli bajakan CD dan video? Kita tahu banyak perusahaan sudah menerapkan prinsip-prinsip Health, Safety & Environment. Lalu, apakah kita kemudian jadi menyetir  dengan aman dan sopan di jalan raya?

 

Orang tua saya tidak pernah tahu mengenai gerakan mengamankan lingkungan atau mengamankan enerji. Ini semua baru ada di era digital sekarang. Etik yang ditularkan oleh orang tua saya dulu jauh lebih sederhana daripada kebutuhan pertimbangan jaman sekarang. Di jaman sekarang , kita memang  perlu sangat peka terhadap hal hal yang dulu tidak pernah menjadi pertimbangan. Kita sekarang menghadapi  adanya “netiquette”,”cara gaul” dan sopan santun bisnis yang juga berkembang. Yang jelas, perkembangannya nilai nilai itupun tidak mungkin dimaksudkan untuk “menghajar” nilai nilai kemanusiaan.  Tentu saja kita perlu sekali mengikuti jaman, sekaligus memancing keluar daya penilaian kita terhadap baik buruknya perilaku kita di jaman yang semakin “sophisticated” ini. Etik kita juga perlu dipoles jadi lebih memuaskan dengan tuntutan jaman. Ini akan dimudahkan karena hati nurani kita tidak pernah hilang, asal  rajin dipelihara dan diasah.

 

Elaborasi Kode Etik

 

Sebenarnya, pencanangan ‘good corporate governance’ tidak jauh-jauh dari niat  perusahaan untuk  menjunjung tinggi “fairness”, transparansi, akuntabilitas dan tanggung jawab. Aturan berperilaku atau kode etik sekarang bukannya luntur tetapi semakin terelaborasi dan semakin canggih. Karenanya, dalam pengembangan kode etik, kita perlu untuk setidaknya memikirkan ‘5C’ ini secara lebih mendalam:

 

    * Complexity: Semakin kompleks permasalahan beserta berbagai resiko yang menyertainya, semakin individu perlu berpikir keras dan mempertimbangkan banyak hal sebelum bertindak.

 

    * Creativity: Dalam transaksi bisnis, kreativitas baik untuk mencari solusi, tetapi tidak untuk merekayasa peraturan atau system.

 

    * Control: Monitor internal perlu kita ‘nyalakan’ terus

 

    * Coziness: Pancing kepekaan untuk mensensor rasa “nyaman” kita, bila melakukan sesuatu yang pelik.

 

    * Choices: Sadari bahwa setiap hari, setiap saat, kita dihadapkan pada pilihan sikap, dan mempunyai kesempatan untuk memilih yang baik.  

Bagaimana pun juga, kita perlu mencari cara agar setiap pulang ke keluarga, ke rumah, ke perusahaan dan ke bangsa sendiri,  kita pulang dengan rasa bangga dan terhormat.

 

 

2. WORKLIFE BALANCE

 

 

Ketika ditanya apa arti ‘work life balance’, seorang direktur perusahaan terkenal, menjawab, “Work life balance, bagi saya, adalah bila target penjualan tercapai 100%”. Jawabannya membuat saya tertegun. Lahhh kok, pekerjaan lagi, pekerjaan lagi? ”Apa pak direktur tidak memikirkan rekreasi? Atau kehidupan keluarga? Beliau lalu dengan santai memberi jawaban yang masuk akal,”Bila saya tidak mencapai kinerja yang baik, atau paling tidak mencapai target pekerjaan, maka mustahil saya bisa benar-benar bersantai dengan keluarga dan menikmati sisa hari saya”

 

Ya, kita dapat merasakan betul bahwa tidak sukses di kantor akan berdampak negatif di rumah tangga atau kehidupan sosial, membuat orang tidak bertenaga, dan demikian pula sebaliknya. Seorang ibu yang gembira karena proposal pemecahan masalah yang ditawarkannya disetujui oleh atasan, akan pulang dengan rasa lega. Meskipun rapat yang dihadapinya tadi menguras tenaga, namun ia merasa punya enerji lebih untuk membimbing putra tercintanya yang sedang minta perhatian lebih karena besok akan ulangan. Sebaliknya, kita sendiri tahu betapa ‘bete’nya suasana hati karena urusan rumah bisa membuat kita tidak bertenaga di kantor, sampai-sampai teman kita bisa berkomentar, “Makanya, urusan rumah jangan dibawa-bawa ke kantor…” Nyata betul bahwa energi lebih memang berasal dari keseimbangan.

 

Keseimbangan Tidak Selalu Berbentuk Timbangan

 

Klien saya, seorang manajer senior di bank terkemuka, pernah mengeluhkan kesibukan pekerjaannya yang menyebabkan dirinya tidak punya waktu cuti sama sekali. Ia mengatakan bahwa jatah cutinya semenjak 2 tahun yang lalu masih utuh. Ketika saya berkomentar mengenai ‘berlibur di pekerjaan dan bekerja saat liburan’, beliau berkata, “Ya, itulah yang saya lakukan. Bersantai di kamar hotel dan sekedar menonton televisi sendirian selama berjam-jam, sehingga terasa sudah ‘mengosongkan pikiran’. Nah, bukankah kegiatan ini juga sudah termasuk “balancing”?

 

Bila kita bicara mengenai “worklife balance”, kita perlu mempertimbangkan berbagai aspek, di samping keluarga dan kantor saja. Ada ahli yang menggunakan istilah yang mudah diingat, yaitu S-P-I-C-E-S, untuk menggambarkan aspek-aspek worklife balance tersebut:

 

þ     “Social”: kehidupan keluarga, hubungan dengan orang lain, lingkungan, alam dan masyarakat ,

 

þ     “Physical”: kebugaran , gizi, kesehatan, dan santai  

 

þ     ”Intelectual”: penguasaan stres dan tekanan,pengembangan diri & profesional, proses belajar ,

 

þ     “Career”: sukses bekerja, berkarir dan kesejahteraan finansial,

 

þ     ”Emotional “: “sense of humour”, kreativitas, bermain, dan “self esteem”,

 

þ     ”Spiritual”, k- Tuhan-an, intuisi, arti dan tujuan  hidup.

 

Berfokus pada kesemua aspek ini, di saat tertentu,  sudah membentuk cakar ayam kehidupan dengan sendirinya, dan walaupun kita tidak sempurna di satu aspek, masih ada kekuatan di aspek lain.

 

Fokus Tidak Sama dengan “Ngotot”

 

Sering sekali, bila individu diminta untuk fokus, ia akan mengarahkan perhatiannya kuat-kuat pada hal tertentu, sampai kening berkerut, dan bahkan menjadi tegang. Padahal, untuk bisa fokus dan berkonsentrasi, dibutuhkan sikap relaks. Kita bahkan bisa mengatakan bahwa upaya fokus sebenarnya “effortless”. Kelelahan akibat tidak mampu fokus dan tidak relaks-lah yang bisa menyebabkan individu merasa “tidak seimbang”.

 

Bayangkan Anda dilayani oleh pekerja restoran, yang mondar mandir mendatangi tamu, mencatat dan mengantar makanan untuk pelanggan, serta berusaha membuat pelanggan happy dengan gerakan dan “tarian” servisnya dengan relaks dan fokus. Bandingkan dengan pelayan restoran yang senyumnya terlihat terpaksa, menyapa serta mengucapkan salam secara datar. Dengan sikap relaks, fokus akan lebih optimal dan isu bisa terlihat lebih jernih, keputusan lebih gampang dibuat, tanpa ketegangan.

 

Setelah berfokus pada tugas yang berat, kita akan merasa lega sesampai di rumah dan lebih mudah mengendurkan syaraf dan otot, untuk berfokus pada hal lain lagi. Sesekali memang kita berhadapan dengan situasi di mana kita harus  kerja lebih banyak, pulang lebih malam, tidak makan siang, terutama pada awal atau akhir projek penting, namun lagi-lagi, bila kita fokus, kita bisa mengkontrol diri dan lingkungan lebih baik.

 

Fokus Harus Tunggal dan di-“Enjoy”

 

Hampir semua orang menganggap keluarga sebagai pelabuhan hatinya, merasa sejuk di tengah keluarga, sehingga mengupayakan ’balance’ dengan membagi waktu secara adil antara pekerjaan dan keluarga. Hal yang sering dilupakan orang adalah bahwa pekerjaan, kesuksesan, tantangan bisa membuat orang bahagia, sama dengan kebahagiaan “pulang ke rumah”, bercengkerama dengan keluarga.

 

Kita bisa membangkitkan produksi adrenalin melalui tantangan projek, proses-proses bisnis, seperti rapat, menjual, lobby dan negosiasi. Kita pun perlu yakin bahwa bila kita fokus pada SATU hal dengan tanggung jawab penuh, maka kita bisa mengerjakannya dengan lebih sempurna dan benar, serta mempunyai enerji lebih, misalnya untuk “staying calm” daripada panik atau marah. Fokus pada pembuatan  laporan yang jelas, singkat, padat lebih baik daripada bergegas untuk menyelesaikannya. “Worklife balance “ hanya bisa kita dapatkan bila kita aktif memperkuat diri, dan bukan terobsesi untuk mengkontrol dunia di luar kita.

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar