Rabu, 02 Juni 2010

Shopaholic” Terjadi Lantaran Istri Tidak Bahagia

Shopaholic” Terjadi Lantaran Istri Tidak Bahagia

Medan (ANTARA News)- Perilaku suka belanja (shopaholic) yang pada umumnya dialami kaum perempuan terjadi karena tidak bahagia dalam kehidupan rumah tangga, kata psikolog Irna Minauli Msi.

Di Medan, Senin, ia mengatakan, penyebab perilaku “shopaholic” ini berasal dari hasrat cemas, gelisah dan perasaan tidak aman. Kondisi itu, menurut dia, membuat penderitanya mencari jalan pintas dengan melakukan sesuatu untuk menutupi apa yang dirasakannya, seperti belanja. Ia mengatakan, “shopaholic” merupakan suatu penyimpangan perilaku yang tergolong sebagai tindakan “compulsive buyer”, yakni membeli sesuatu secara terus menerus yang berlandaskan kepada keinginan yang terus menerus dan bukan kepada kebutuhan. Belanja itu merupakan suatu hal yang menyenangkan dan dapat melupakan hal-hal yang sedang dialaminya, katanya. Belanja itu menjadikaan pribadi tertentu sebagai orang yang berkuasa, dengan membelanjakan uang sebagai implementasi untuk mengobati sakit hati atau membalas dendam terhadap suatu hal dalam area kehidupannya, sehingga dapat memuaskan egonya.

Penderita “shopaholic” juga dapat dapat dikatakan adalah orang yang tidak bahagia pada dirinya sendiri sehingga kompensasinya ingin membahagiakan diri dengan menikmatinya saat belanja, ujarnya. Banyak orang yang berprilaku “shopaholic”, menurut dia, tidak menyadari kalau dirinya sudah memiliki penyimpangan prilaku secara psikologis. Untuk mengetahui apakah perilaku seseorang itu sudah “shopaholic” atau tidak dapat dilihat dari prilaku seseorang yang semakin stres, katanya menambahkan. (*)

Brain Sex

KENAPA cinta membara tak bertahan lama? Ahli biokimia mengatakan, tahap cinta yang membara ini biasanya habis sesudah beberapa tahun, karena otak tak dapat mempertahankan kegiatan syaraf yang hebat ketika mabuk kepayang.
Hal itu dikatakan Dekan Fakultas Psikologi UMA, Dra Irna Minauli Msi, dalam acara diskusi ilmiah tentang “Brain Sex: Why Do We Fall in Love?” di convention hall Kampus I UMA Jalan Kolam Medan Estate, Jumat lalu. Dalam diskusi itu juga tampil Psikolog Nini Sriwahyuni sebagai pembicara.

Dalam diskusi yang diikuti ratusan mahasiswa Psikologi itu, Irna memaparkan perbedaan cinta dan birahi. Penelitian di seluruh dunia menegaskan, memang benar cinta berumur pendek. Padamnya serupa dengan awal menyalanya. Tak heran, beberapa kebudayaan menganggap bodoh bila kita memilih pasangan hidup untuk selamanya didasarkan pada sesuatu yang singkat.

“Itu sebabnya pemilihan pasangan harus didasarkan pada sesuatu yang memiliki kualitas hubungan yang lebih baik. Hal ini sejalan dengan anjuran agama, bahwa memilih pasangan harus berdasarkan tingkat keagamaannya (aspek spritualitas) dibandingkan dengan hanya sekadar masalah daya tarik fisik yang terbukti sifatnya hanya sesaat,” tutur Irna.

Dia kemudian mengutip pendapat pakar psikologi, Helen Fischer, bahwa puncak hubungan cinta berakhir sedudah empat tahun, yang mungkin berubah karena selama inilah waktu yang dibutuhkan untuk membesarkan anak sejak bayi.
Birahi, perasaan yang liar dan tak masuk akal serta menyilaukan, ternyata ada sisi praktisnya. Menurut Irna, kita juga perlu cukup birahi untuk mulai berkembang biak dan kemudian perasaan keterikatan mengambil alih sewaktu sepasang insan merasa menyatu dengan membesarkan anak manusia yang tidak berdaya.

Secara biologis, tambah Irna, kenapa cinta membara akhirnya pudar, dapat ditemukan dalam kerja otak menanggapi meningkat dan berdetaknya dopamin yang menyertai birahi dan membuat seseorang merasa melayang.

Di India, cinta membara dalam tradisi mereka dianggap berbahaya, suatu ancaman bagi sistem kasta yang telah ditata dengan cermat, dimana perkawinan diatur sebagai alat untuk melindungi garis keturunan. Tetapi kemenangan cinta membara dirayakan di film Bollywood, kendati sebagian besar masih percaya bahwa perkawinan yang dijodohkan lebih mudah berhasil ketimbang pernikahan karena cinta.

Irna kemudian membeberkan sebuah jajak pendapat terhadap pelajar India, bahwa 76 persen menyatakan mereka mengawini seseorang karena sifat yang baik meskipun mereka tak jatuh cinta pada orang ini. Sedangkan di Amerika, hanya 14 persen yang mengawini orang yang tak dicintainya.

Jadi, apa yang membuat pasangan tetap menikah untuk waktu yang lama? Menurut Irna, mungkin ikatan yang diperkuat oleh adanya anak-anak. Mungkin juga penyebabnya oksitosin, zat kimia yang diduga terdapat dalam jumlah yang banyak pada pasangan yang telah hidup bersama selama waktu yang cukup panjang. Karena keterikatan dan perhatian satu sama lain, ada yang menyebutnya cinta. nas

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Permainan Digital

Psikologi
Permainan Digital Jangan Jadi Menu Utama

Medan, Kompas - Permainan di dunia maya atau dikenal dengan games jangan dijadikan menu utama permainan anak. Orangtua harus proporsional dalam mengatur permainan anak, baik permainan digital maupun permainan luar ruangan, agar anak berkembang seimbang. Demikian terangkum dalam bincang-bincang bertajuk Lebih Dekat dengan Anak di Era Digital, yang digelar dalam rangka Kompas Gramedia BNI Tapenas Fair, Minggu (12/11) di Convention Hall Hotel Danau Toba Internasional, Medan. Hadir sebagai pembicara yaitu penanggung jawab bidang teknologi informasi (TI) Kompas Hardanto dan psikolog Irna Minauli.

Dalam bincang-bincang itu mengemuka sejumlah persoalan yang dihadapi orangtua dalam mendampingi anak yang tumbuh di era kemajuan teknologi dan bagaimana menghadapinya. “Terjadi kesenjangan yang cukup jauh antara generasi 30 tahun lalu dengan anak-anak sekarang ini. Sebaiknya, orangtua tidak antipati terhadap maraknya permainan digital tetapi harus aktif mengejar ketinggalannya dan menjadi pendamping anak,” kata Irna. Banyak sisi positif dari permainan di komputer yang bisa merangsang daya pikir strategis, ketrampilan motorik, dan imajinasi. Namun, kasus yang sering terjadi yaitu anak-anak menjadi kecanduan permainan dan melakukan perbuatan negatif hanya demi bermain games. Sifat individual dan egois juga muncul karena anak lebih sering bermain sendiri.

“Orangtua harus mengambil komando. Jangan membiarkan anak bermain sendiri, usahakan meletakkan perangkat permainan di ruang bersama. Yang terpenting berikan kesempatan bermain games sebagai penghargaan untuk anak, misalnya usai ulangan umum, agar anak tidak kecanduan,” kata Hardanto. Kenyataan kemajuan teknologi memang tidak bisa dihindari. Sebisa mungkin orangtua mengikuti agar bisa mengarahkan anak. “Pemilihan permainan digital untuk anak harus disesuaikan dengan minat anak. Orangtua harus jeli memilih, lihat ratingnya, dan panduan untuk bermain. Orangtua harus rajin melihat komputer agak bisa mengawasi isinya, apalagi dengan adanya internet yang memungkinkan anak-anak melihat berbagai macam hal,” ujar Hardanto.

Kekerasan dalam Rumah Tangga

Suami Ringan Tangan, Berjiwa Possive

Kekerasan bisa saja dilakukan oleh siapa saja, dalam situasi apa saja dan dimana saja, termasuk di dalam rumah tangga. Suami ringan tangan merupakan salah satu kasus KDRT (Kekerasan dalam Rumah Tangga).Tetapi, untuk mengungkap kasus KDRT ini ternyata tidak segampang membalikkan telapak tangan.Masih banyak kasus yang sengaja ditutupi hanya karena takut menjadi aib keluarga. Padahal, tindak kekerasan yang dilakukan sudah tergolong tindak pidana.

Seperti pengalaman Sari warga Jalan Mandala Medan, pernah menangis terisak sembari mengadukan perbuatan suaminya kepada wartawan koran ini. Dengan air mata mengalir, Sari berupaya berbicara perlahan. “Aku ditampar dan ditunjang sama suamiku. Aku enggak tau kenapa dia bisa berbuat demikian?”, Keluhnya. Tak sebatas itu, Sari juga kerap menerima perlakuan dan perkataan kasar dari suaminya.”Aku enggak sanggup lagi, tapi aku masih mencintainya, aku enggak mau berpisah karena jika itu kulakukan, maka masa depan putriku akan hancur,”ujarnya dengan tetesan air mata. Malu mengungkapkan kasus KDRT karena aib keluarga, atau persoalan anak dan perasaan masih cinta merupakan hal yang kerap dirasakan korban KDRT di negara kita, sebut psikolog, Irna Minauli, MSi. Tetapi, perlu diingat ada kasus-kasus yang tidak bisa ditolerir jika hal itu sudah menyangkut tindak kekerasan. “Terutama terhadap kasus penganiayaan fisik, ini sudah tidak bisa lagi di tolerir, dan pelakunya harus diadukan kepada polisi dan diproses secara hukum karena telah melakukan tindak pidana sesuai dengan UU No 23 tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT,” tegas Irna.

KDRT yang terjadi bisa dilakukan oleh siapa saja, bisa suami terhadap istri, atau sebaliknya juga suami atau istri terhadap anak ataupun pembantu dan orang-orang yang ikut serta tinggal dalam satu rumah. “Tetapi pada umumnya, kasus KDRT di negara kita ini yang paling banyak itu adalah kasus suami kepada istri atau suami kepada anak, juga kepada pembantunya,” timpal Irna. Berdasarkan data KDRT dari WCC (Woman Crisis Center) Cahaya Perempuan dan LBH Apik Medan yang diperoleh dari Biro Pemberdayaan Perempuan Setdapropsu, kasus KDRT setiap tahunnya mengalami peningkatan.

Tahun 2005 tercatat sebanyak 189 kasus, tahun 2006 meningkat menjadi 198 kasus. Sementara dari rekap data penanganan kasus KDRT yang ditangani Ruang Pelayanan Khusus (RPK) Dit Reksrim dan Sejajaran Polda Sumut untuk tahun 2005 di Poltabes Medan tercatat sebanyak 9 kasus, Deli Serdang 6 kasus, Binjai 4 kasus, dan Tebing Tinggi sebanyak 7 kasus. KDRT yang dimaksud tidak hanya kekerasan fisik, tetapi juga kekerasan finansial, kekerasan seksual juga kekerasan psikis. Suami pelit, kata Irna termasuk dalam kekerasan finansial seperti jika ada suami yang bergaji Rp 6 juta perbulan tetapi menjatah istrinya belanja Rp 20 ribu per hari, ini termasuk kekerasan finansial dalam keluarga. Apalagi sampai tidak memberikan nafkah atau menelantarkan keluarga.

Kekerasan Psikis merupakan kekerasan yang dilakukan seperti perkataan kasar, menghina yang akan menyakiti perasaan maupun mengganggu emosionalnya, hingga menghambat kebebasannya juga termasuk dalam kekerasan psikis. “Dalam konteks cinta perkawinan, kalau ada pasangan yang menghambat atau melakukan pembonsaian terhadap perkembangan dari pasangannya maka itu tidak lagi tergolong cinta tetapi sudah termasuk kekerasan,” ucap Irna sembari mencontohkan kasus pentolan band Ratu, Maia dan Ahmad Dhani. Kekerasan ini akan mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang.

Sementara kekerasan Fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat. Kekerasan ini tidak bisa ditolerir, seperti penganiayaan fisik apapun bentuknya harus dilaporkan termasuk suami yang ringan tangan. Terakhir kekerasan seksual merupakan perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. Kekerasan seksual ini, dikenal juga kata Irna dengan Marital Rape.”Istri harus mau menuruti apa saja keinginan suami dalam hubungan seksual, jika istri tidak mau maka hal itu sudah termasuk dalam kekerasan,” tegasnya.

Dalam kasus KDRT juga terang Irna, terkadang istri bisa menjadi dua kali korban karena lingkungannya. Pertama, menjadi korban dianiaya suami, kedua menjadi korban lagi disalahkan oleh lingkungannya karena dianggap tidak bersikap baik kepada suami.”Dengan budaya paternal, dimana kedudukan suami lebih tinggi, jika terjadi KDRT terhadap istri, maka lingkungan kerap kembali menyalahkan istri, sehingga istri sering menjadi korban untuk kedua kali,” paparnya. Dijelaskannya, secara psikologis, pelaku KDRT umumnya memiliki emosi yang tidak stabil dan mudah dibangkitkan dengan hal-hal yang sepele, ciri-cirinya orang yang sangat emosional, rentan terhadap stres. Kedua, orang yang sangat posessive. Dimana, senantiasa menganggap istri ataupun anak adalah miliknya, sehingga terkadang terlihat terlalu perhatian tetapi bisa berlaku sangat kasar. Terakhir, adalah pelaku berasal dari keluarga yang juga melakukan tindak KDRT sehingga diturunkan dari orang tuanya.sebab 70 hingga 80 persen prilaku ortu diwariskan kepada anak. Akibat kekerasan bagi korban yang menerimanya tidak hanya sekadar menyakiti fisiknya juga mentalnya. Bisa menimbulkan Mulitiple Personality Disorder seperti pribadi yang terpecah banyak, akibat bentuk penukaran diri dari stres yang tidak bisa dihindari, juga gangguan jiwa lainnya.

Untuk mengindari KDRT seperti suami ringan tangan, maka sebaiknya istri dan suami kembali ke agama dan mengimplementasikan bagaimana sebaiknya istri atau suami bertindak dalam keluarga. Suami sebaiknya wajib mengeluarkan tutur kata yang halus. Ungkapan kasih sayang dan menyenangkan pasangannya begitu juga sebaliknya bagi istri. Suami dan istri juga harus memberikan reward dan tidak sekadar hukuman. “Misalnya, kalau istri sudah capek memasak, jika masakannya enak, berilah pujian, jangan hanya memberikan hukuman jika masakannya keasinan atau tidak enak, sebaiknya diubah lingkarnya jika selama ini negatif menjadi positif, yang sebelumnya hanya memberikan hukuman saja sehingga mengakibatkan istri merasa usahanya tidak dihargai berubah lingkarnya menjadi sering memberikan reward atau pujian” beber Irna. Begitu juga, jalinlah komunikasi yang baik. “Jika terjadi masalah, masing-masing pasangan sebaiknya membicarakannya pada situasi yang baik, jangan dibicarakan ketika baru pulang kerja, atau ketika sibuk. Itu akan menimbulkan masalah baru lagi. Lebih baik lagi, jika suami marah, maka istri sebaiknya sabar begitu sebaliknya.Dan ketika kepala sudah dingin, maka masalah dapat diselesaikan dengan baik.”

Jika KDRT terjadi, maka istri harus cepat mencari bantuan, baik LSM perempuan ataupun orang-orang yang menangani masalah KDRT. Kedua, perlu diadukan ke polisi jika perbuatan suami sudah sampai menganiaya fisik dan tidak bisa ditolerir, dan carilah bantuan psikolog maupun ulama dan pendeta untuk menstabilkan emosi dan jiwa akibat deraan yang telah menimpanya.(**)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar